∅1⸙ᰰ۪۪ Pindah

60 10 2
                                    

Tepat ketika arah jarum panjang di angka tiga, kapal berangkat. Para penumpang yang sudah menunggu bahkan sejak sebelum jarum pendek jam pada angka dua mulai memasuki kapal menuju kursi mereka. Para penjual makanan dan minuman turut memasuki kapal, mulai berkeliling menjajakan jualan mereka pada penumpang.

Ombak saat itu cukup kencang, kapal mleaju dengan kecepatan rata-rata lima belas hingga dua puluh empat knots. Kapal akan berhenti pada tiga pelabuhan lagi, menurunkan dan akan menerima penumpang lagi, hingga pada tujuan akhirnya. Ketika kapal sudah menempuh waktu selama tiga puluh menit atau bahkan lebih, sinyal akan menghilang dari radar ponsel, lantas para penumpang akan keluar dan duduk di geladak atau bahkan pergi menatap bagian buritan kapal.

Satu laki-laki dengan rambut yang sedikit ikal dan baju lengan panjang berwarna dongker serta celana panjang berwarna hitam mulai bersantai di atas kursinya yang berada di sebelah jendela. Hamparan lautan bisa ia lihat dengan nyamannya. Laki-laki itu menyumbat telinganya dengan handsfree kemudian mulai menatap laut hingga akhirnya kapal mulai bergerak dengan kecepatan lebih lambat dikarenakan ada kapal lain yang melintas.

Laki-laki itu memejamkan matanya dan berusaha berdamai dengan pikirannya sendiri.

"Tiba-tiba?"

Laki-laki paruh baya yang berada di hadapannya itu menggeleng. "Nggak juga. Ayah sudah mempersiapkannya bahkan sebelum liburan semester, Galuh."

Laki-laki yang dipanggil Galuh itu menatap ayahnya tidak percaya. Banyak hal yang ingin ia serukan, tapi mulutnya serasa ditahan oleh banyak hal juga. "Kenapa Ayah memutuskan seenaknya?"

Ayahnya, Junaidi, menatap putranya masih tidak mengerti atas apa yang ada di pikiran anak yang masih dalam masa pertumbuhan tersebut.

"Kenapa? Supaya kamu berhenti melukis. Memang benar, Ayah juga salah memikirkan sebaiknya kamu masuk sekolah dinas, tapi setidaknya jika berada di desa kamu tidak akan mencoba menghabiskan uang hanya untuk membeli alat lukis dan membeli tiket kapal pulang pergi. Tabunganmu, kan, tidak sebanyak itu."

Diam sejenak di antara keduanya. "Cobalah mengerti, Galuh. Ayah hanya tidak ingin jika kamu masih terjerat pada Ibumu yang sudah tiada."

Galuh mengepalkan jarinya, lantas menjawab, "baiklah."

Mata laki-laki itu kembali terbuka, mengingat percakapannya dengan ayahnya justru membuatnya merasa kesal dan sedikit ingin memberikan penjelasan apa yang sebenarnya ia sukai. Tapi ia tidak ingin jika rumah menjadi ribut hanya karena penjelasan darinya.

Galuh mengubah posisi duduknya, lantas menatap para pedagang yang masih berkeliling menjajalkan dagangannya. Galuh berakhir membeli dua bungkus kacang tojin dan memakan kacang itu hingga akhirnya kapal berhenti di pelabuhan pertama.

Para penumpang mulai bergerak dari kursi mereka, lantas mengambil barang dari dek dan keluar dari kapal. Penumpang perlahan berganti dan semakin lama semakin sedikit.

"Pamanmu? Ah, iya, karena pamanmu tidak suka cat jadinya Raka juga begitu. Turunan dari kakek kalau kata nenekmu," ujar seorang wanita paruh baya kemudian tertawa di ujung kalimatnya.

"Saat Ibu masih sekolah, pamanmu akan datang ke kamar Ibu dan berseru, 'bulu hidungku sampai rontok mencium cat milikmu!' Padahal aromanya tidak seburuk itu. Jadi jangan terlalu diambil hati apa yang dibilang sama Raka, ya, Galuh," tambah wanita itu.

"Ayahnya Raka, Paman Panji, dia meninggal saat Raka masih kecil. Jadi hal itu mungkin sangat membekas di ingatan Raka. Tapi, paman Panji pernah berkata bahwa ia sangat menyukai lukisan yang ibu buat."

Galuh masih bisa mengingat kalimat yang keluar dari mulut ibunya. Ia bahkan tidak bisa menduga beberapa saat kemudian setelah mengucapkan itu, ibunya meninggalkannya untuk selamanya.

Galuh [Tamat]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora