14⸙ᰰ۪۪ Ayah dan Anak

4 0 0
                                    

"Angkuh? Sejak hari pertama saya memijakkan kaki di sekolah ini, di kelas ini, tidak sedikit pun rasa angkuh saya tunjukkan. Menilai orang dari luar atau label tidak akan membuat kalian maju. Jika saja kalian bisa mempercayai seseorang sedikit saja, mungkin saya tidak akan mengatakan hal ini. Kalian sama saja ketikan melabeli orang dengan kata jahat hanya karena wajahnya yang sangar. Kalian itu yang bahkan lebih buruk dari pada orang yang tidak melakukan apa-apa."

Kalimat tersebut tidak bisa dikatakan menjadi hal yang baik. Atau menjadi bahan pertimbangan orang-orang atas Galuh. Jangan jauh-jauh, Tia sendiri tidak percaya jika Galuh akan mengatakan hal tersebut, termasuk Daffa. Mereka sebenarnya merasa tersinggung, tapi Galuh benar adanya. Mereka tidak bisa marah apa lagi mengadukannya, karena sejak awal tidak ada bukti yang jelas atas rumor yang beredar. Rumor tetaplah rumor.

Galuh muak, oleh karena itu kalimat tersebut lolos dari mulutnya. Kacamatanya terus berembun layaknya hawa panas yang tak kunjung hilang dari Galuh. Galuh sudah merasa dirinya cukup sabar. Ia tidak lagi mempedulikan apa kalimatnya menyakiti hati orang lain atau tidak. Yang ingin ia lakukan adalah memperjelas segalanya. Ia membutuhkan bantuan banyak orang untuk membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi pelukis. Tapi dengan apa yang terjadi di hadapannya, membuatnya yakin bahwa ayahnya benar. Ia tidak bisa apa-apa. Melukis hanya memperburuk keadaan atau bahkan ia yang pecundangnya di cerita itu.

Ia bukan penahan kesabaran yang baik, tapi ia berusaha dengan sekuat tenaga. Terlebih sekolah yang ia masuki adalah sekolah negri. Salah-salah dirinya bisa saja dikeluarkan dari sekolah. Oleh karena itu Galuh masih mencoba untuk tetap menjaga perkataannya.

"Apa Atuk cakap?! Engkau ni merusak je!"

Satu pukulan dari rotan lepas, mengenai pantat Galuh. Rasnaya ngilu bercampur rasa sakit yang hilangnya sangat lama. Ia tidak merasa bisa duduk atau bahkan tidur dengan rasa sakit itu.

Sejak ia pulang lebih cepat dari pada Raka dan tidak mengunjungi ruang seni kakeknya lagi-lagi menghabisinya dengan suara yang tinggi ditambah bonus dengan kayu rotan. Galuh sudah dengar dari Raka akan kemarahan kakeknya jika menegaskan sesuatu dan dibantah akan menggunakan kayu rotan ajaibnya. Rasa sakitnya tidak akan hilang selama tiga hari. Raka sudah merasakannya beberapa kali.

Galuh menahan rasa sakit itu, tidak sebanding dengan apa yang ia rasakan. Banyak yang ingin disampaikannya, terlebih mengapa dirinya tiba-tiba dipukul seperti itu dan mengenai kakeknya yang tiba-tiba ikut campur permasalahan anak-anak itu.

"Kau ikut, Atuk!"

Seruan itu sama sekali tidak ramah. Dengan larangan yang terus-terusan diserukan oleh Susi dan Titin, Diwang tetap menarik cucunya itu, keluar dari rumah, bahkan melewati pelabuhan. Ia sadar ada banyak orang yang memperhatikannya selama diperjalanan, terlebih saat menyebrang untuk sampai ke tempat telepon yang pernah disampaikan oleh Raka.

Galuh kesal, ingin menepis tangan kakeknya yang terus memegang lengannya itu. tapi ia masih tidak ingin melakukannya. Entah itu kesabaran atau tidak, ia sendiri masih kebingungan. Ia ingat kata ayahnya untuk tidak merepotkan siapa-siapa, hanya itu alasannya kenapa ia tidak ingin Diwang ikut dalam masalah yang kali ini menimpanya.

Galuh tidak ingat kapan ia memberikan nomor ponsel ayahnya kepada Diwang. Yang bisa ia lihat, Diwang dengan lincah menekan nomor di telepon kantor milik dinas pelabuhan kota terdekat. Butuh waktu selama lima menit hingga akhirnya panggilan terjawab.

"Junaidi. Apa ayah cakap, budak ni pasti bermasalah. Dah cukup—"

"Ayah tahu dari mana jika Galuh yang begitu? Saya memang tak tahu apa masalahnya, tapi apa, Atuk sudah bertanya padanya? Pada Raka? Atau pada teman barunya Galuh?"

Galuh [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang