15⸙ᰰ۪۪ Tergantung

2 0 0
                                    

Perjalanan ke sekolah kali ini terasa berbeda untuk Raka. Ia tidak mendengar napas Galuh yang tersengal atau semacamnya. Layaknya sepupunya yang sudah terbiasa dengan perjalanan yang jauh menuju sekolah itu.

Cahaya matahari yang jauh lebih cerah daripada waktunya sesekali menghalangi penglihatan mereka, terutama ketika mereka sedang menunggu pompon sampai ke sisi daratan. Dengan sisa waktu yang dimiliki, mereka berjalan dengan sangat cepat menuju ke sekolah.

Kelas kembali sunyi ketika mereka berdua melangkahkan kaki ke dalam. Entah label apa yang saat ini menempel pada Galuh, ia tidak paham lagi. Tapi suasana itu berbeda dari pada kemarin atau bahkan dua hari lalu. Mereka tidak membicarakan Galuh atau bahkan menatapnya dengan tatapan aneh. Mereka hanya terdiam, sambil tertunduk.

Hening beberapa saat. Tia mendekati dirinya, duduk di depan kursi yang masih belum kedatangan pemiliknya. Sedangkan Daffa mendekati Raka, membicarakan hal yang tidak bisa didengarkan oleh Galuh atau Tia.

"Ceritanya dah tersebar dah." Tia bersuara. Ia tidak menatap Galuh, melainkan tatapannya tertuju pada Raka sambil sesekali menatap murid di kelasnya yang masih sedikit jumlahnya. Gadis itu berbicara dengan mulutnya yang cadel terhadap huruf 'r'.

Galuh dengan aktivitas wajibnya tetap terdiam, mendengarkan celotehan Tia yang belakangan hari itu terus berbicara padanya. Tangannya bergerak di atas buku, menggambar dengan sisi pensil yang lain sehingga warnanya terlihat sangat tipis.

"Cerita apa?" Galuh menggeser sedikit tangannya, matanya sesekali beralih, menatap Tia dan menatap gambarnya.

Tia tertawa pelan, merasa lucu akan apa yang mau ia ceritakan. "Si budak bandar yang tak bersalah."

Galuh ikut tertawa meskipun pelan. Ia setuju pada pemikiran Tia yang menganggap hal tersebut lucu.

"Awak harus membuktikannya, kan? Tak mungkin awak diam je?"

Galuh menghentikan pergerakan tangannya. Ia mengangkat kepalanya, membalas tatapan Tia yang sangat penasaran itu. "Tentu saja. Cuman, ini bukan masalah saya saja. banyak yang terlibat di sini.

"Jadi korang nak melapor, kah?"

Galuh mengangkat kedua bahunya. Tergantung.

Daffa tidak memberinya saran atau apa pun kemarin. Ketua kelas itu hanya memberikan informasi terkait tentang murid yang bermasalah itu. Daffa tidak berniat membantunya, ia hanya melaksanakan apa yang bisa ia lakukan. Jika semuanya tambah buruk, Daffa merasa dirinya akan kesulitan untuk mengurusnya, sedangkan waktunya sudah sangat sedikit.

Berbeda dengan Raka yang sangat penasaran apa yang ingin dirinya lakukan. Galuh tidak sempat bertanya akan apa yang ingin dilakukan oleh Raka. Sepupunya itu terlalu sedikit berbicara sehingga ia tidak tahu apa-apa.

***

Ruang seni terasa berbeda. Entah karena Tia yang banyak bercerita pada Retno atau karena suasana hati Galuh yang tidak bisa ditebak. Di ruangan itu tidak ada orang lain yang bisa ditebak kedatangannya mengingat jumlah anggota ekskul yang terlampau sedikit, ditambah sisanya adalah siswa numpang nama.

Tia tidak memiliki bakat yang mencolok di dunia seni. Ia hanya penganut lukisan jenis abstrak dan sisi gambar yang sedikit pahit untuk dilihat. Ia hanya menggambar jika menjadi kewajiban dari pembimbing ekskul. Ia tidak masalah dengan itu.

Tapi Galuh berbeda. Retno tahu betapa inginnya Galuh untuk melukis. Betapa sepinya dunia Galuh tanpa melukis. Hanya saja, demi tujuan awal Galuh, ia harus menahan diri untuk tidak melukis di kanvas. Melukis di kertas besar hanya menggunakan cat air kurang menyenangkan baginya. Ia lebih menyukai penggunaan cat minyak atau bahkan cat akrilik.

Galuh [Tamat]Where stories live. Discover now