∅6⸙ᰰ۪۪ Ekskul Seni

6 3 0
                                    

Hari ketiga di sekolah adalah hal yang luar biasa bagi Galuh. Ia menjadi anak yang sangat aktif hanya dalam satu malam. Ia menjawab semua pertanyaan dari guru saat belajar. Ia juga banyak bercerita dengan murid di bangku depannya meskipun diabaikan.

Ia menghela napas panjang saat jam istirahat sudah berbunyi. Kakinya berjalan lemah ketika berhasil membeli roti di kantin. Matanya tertuju pada sebuah ruangan yang membuatnya mengingat kejadian kemarin. Dengan rasa penasaran yang masih tinggi, tubuhnya mulai bergerak, membawanya menuju ruangan itu.

Galuh menatap ruangan yang ia lihat kemarin. Di bagian atas pintu terdapat tulisan ruangan seni. Di sisi dalamnya, tempat gorden terbuka terlihat gantungan yang patah sehingga menjelaskan kenapa ia bisa melihat bagian dalam ruangan.

Galuh membuka pintu ruangan tersebut, kemudian memperhatikannya. Ruangan seni itu berukuran sama dengan perpustakaan. Mata Galuh tertuju pada tumpukan-tumpukan kertas sketsa yang besar dan beberapa lukisan yang dicat menggunakan cat air. Kakinya membawanya mengelilingi ruangan, menatap alat-alat yang tersusun rapi di atas meja.

"Permisi, ade peraturan yang tak membolehkan ke ruangan seni di luar jam pelajaran tanpe seizin cikgu."

Sebuah suara yang sedikit tajam membuat Galuh membalikkan tubuhnya. Ia menatap kaget gadis yang tingginya hanya setara dengan bahunya. Gadis itu sudah dikenalkan padanya, ia bernama Retno. Anak dari seorang pedagang yang cukup kaya di desa.

Galuh mengelus tengkuknya, kemudian sedikit membungkuk. "Maaf. Saya mau itu ... gabung ekskul seni."

Retno mengerutkan dahinya. "Harusnya awak cakap je ke guru pembimbing. Oh iye, awak murid baru tu, kan?"

Galuh mengangguk.

Retno melenguh panjang. "Ikut saye."

Saat menuju ruangan guru, Galuh bisa merasakan jika ia diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya. Pandangan yang berbeda dari biasanya. Ia dan Retno tidak berbicara di sela-sela perjalanan itu, hingga mereka berdua sampai di sebuah meja seorang guru perempuan berhijab di ruangan guru.

"Cikgu, ni ade murid baru nak gabung ekskul," ujar Retno.

Galuh memperhatikan gurunya dengan seksama, ia pernah melihatnya sekilas saat baru pertama kali ke sekolah. Ia bahkan tidak tahu siapa nama guru itu.

"Sekejap. Isi selembar ni. Saye Cikgu Yana, pembimbing ekskul seni, sekaligus cikgu seni di sekolah ni. Jika ada yang nak awak tanyakan, tanyakan je lah," ujarnya sembari menyerahkan kertas yang bertuliskan data diri dan keterangan lainnya.

Galuh dengan cepat mengisi selembaran tersebut dan langsung mengembalikan kertas itu pada Yana. Yana tidak merasa peduli akan hal itu.

Meski suara Yana terdengar sedikit keras seperti guru lainnya yang baru bertemu dengannya, Galuh bisa merasakan jika Yana tidak seburuk orang-orang yang selama ini mengabaikannya. Termasuk Retno. Entah mungkin karena ucapan dari kakeknya Retno jadi demikian atau karena Retno memang begitu anaknya.

"Kalau macam tu, Retno awak bertanggung jawab perihal Galuh, ye. Awak, kan, ketuanye."

Retno mengangguk, kemudian permisi dan keluar dari ruang guru itu bersama Galuh. Retno menghela napas panjang setelah pintu tertutup rapat. Ia menatap Galuh yang sangat bersemangat, jauh berbeda saat yang ia lihat di sore hari.

"Awak ni, yang semalam lihat ruangan seni, kan?"

Galuh terdiam, ia kaget dan hampir melupakan kejadian tersebut hanya karena Retno yang baik padanya. Ia mengangguk lalu mundur beberapa langkah.

Galuh [Tamat]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora