12⸙ᰰ۪۪Membantu

6 0 0
                                    

"Bercanda? Saya istirahat dari tadi di ruangan seni."

Galuh menatap Daffa tidak percaya. Sebuah berita yang sampai di telinganya itu membuatnya kesal. Ia bahkan tidak ingat pernah melakukan sesuatu sejak satu minggu ia mulai bersekolah. Jangankan melakukan hal buruk, ia bahkan hanya berbicara dengan Tia dan Retno sebagai tenan barunya.

Galuh mengacak-acak rambutnya, ia kesal, ia juga ingin marah. Tapi mengamuk hanya akan membuktikan kebenaran atas tersebarnya rumor mengenai kejahatannya yang memukul anak sekolah. Tidak sampai di sana, murid tersebut merupakan murid di angkatan ketiga.

Raka berkacak pinggang, kemudian kembali menatap Daffa. "Siapa?"

"Budak-budak tulah. Sebetulnya memang susah nak percaya, tapi tahulah, daripada tiga orang tu, budak Bandar sering menampakkan sisi buruknya," jawab Daffa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.

Awalnya ia mendatangi Galuh dengan rasa emosi yang memuncak dan melupakan fakta bahwa murid baru itu adalah sepupu dari temannya. Bagaimana mungkin dirinya tidak emosi, jika saja ada satu murid yang bermasalah di kelasnya, ketua kelas selalu dimarahi seolah-olah tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan anggota kelasnya.

"Galuh tak belasah budak darjah tiga tu. Aku yang belasah. Masa tu, die orang hampir mukul Galuh." Raka bersuara lagi, berusaha menenagkan pikiran Daffa.

"Aku tak kesah, Ka. Tapi sekarang ni tak ada bukti, kan? Orang tu percayalah," balas Daffa.

"Ala, beberapa memang percaya, beberapa lagi pasti tak. Paling budak-budak cakap dia orang pembual jee." Tia ikut bergabung dalam pembicaraan itu. Mereka bertiga berdiri sambil menatap Galuh yang duduk secara bergantian.

"Tu sekarang macam mana?"

Galuh menghela napas panjang. "Jangan terlalu dipikirkan. Sekarang ni waktunya pulang. Besok aja pikirinnya. Makasih ya, Daffa, Tia, Raka."

Galuh merangkul tas nya, kemudian keluar dari kelas. Ia menuruni anak tangga sambil sesekali matanya mendapati orang meliriknya atau bahkan pembicaraan yang menyinggung dirinya. Ia sedang tidak ingin memikirkan hal tersebut meskipun sebenarnya harus. Jika dibiarkan lebih lama, namanya akan terasa semakin buruk, dan anak kota selanjutnya akan terkena imbasnya.

Tangannya meraih gagang pintu, kemudian membuka pintu ruangan seni. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat Retno yang tengah memandang ke luar jendela. Gadis itu menatap para anggota ekskul olahraga yang tengah melakukan pemanasan. Sesekali rambutnya terurai karena terkena hembusan angin. Atau bulu matanya yang lentik itu beberapa kali berkedip sangat cepat.

Gadis itu membalikkan badannya, menatap pemuda yang baru saja masuk. Retno juga mendengar beritanya dari teman sekelasnya. Orang-orang menganggap Galuh sebagai orang jahat, dan tidak akan mempedulikan kebenaran yang akan keluar dari mulutnya itu.

Kacamata Galuh sesekali berembun saat ia menghela napasnya ketika merapikan alat-alat melukisnya. Ia memberdirikan penyangga kayu, kemudian meletakkan buku sketsa yang besar dan tebal di depannya. Ia bergerak lagi, mengambil pensil serta penghapus.

"Awak tak apa? Esok cikgu Yana pasti menanyakan pasal ini." Retno akhirnya bersuara setelah Galuh sudah menempelkan pantatnya di atas kursi.

Galuh menatap gadis itu, berpikir memangnya dirinya kenapa? Kasus itu hanya hal sepele. Tapi mungkin bagi kebanyakan orang memang bukan hal yang sepele. Galuh sejujurnya tidak terlalu mengerti lagi harus berekspresi seperti apa. Selain kesal dan marah lantas apa?

"Saya sebenarnya tidak pernah menduga hal seperti ini terjadi di kehidupan saya. bahkan tentang betapa buruknya anak kota di mata anak desa tidak pernah saya bayangkan. Saya hanya murid yang tiba-tiba dipindahkan oleh ayah saya. Jadi saya bingung," ujar Galuh. Ia meletakkan pensilnya di atas meja, kemudian berdiri, dan mendekati Retno.

Galuh [Tamat]Where stories live. Discover now