17⸙ᰰ۪۪ Bersama

4 0 0
                                    

Galuh mendengarnya dari Daffa. Para senior yang mengganggunya itu tiba-tiba mengakui kesalahan mereka di depan kelas saat dirinya dan Tia sudah berada di ruang seni. Tidak banyak murid di sana, tapi setidaknya cukup untuk menyebarkan berita burung. Lalu, ada Raka di sana saat para senior itu mengakuinya. Jadinya Daffa menyimpulkan bahwa semuanya karena Raka.

Saat ia memijakkan kaki ke dalam kamar, Raka sudah berada di kursinya, tengah menulis, bukan, menggambar sesuatu. Galuh bisa melihatnya sedikit. Ia ingat jika berjanji akan mengajari Raka melukis jika Raka mau mengakrabkan dirinya di sekolah. Tapi mengingat alat lukis yang dimilikinya sangat terbatas, Galuh masih belum melakukan apa-apa. Bahkan belum sedikit pun bisa menepati janjinya.

"Kenapa kamu membantu saya seperti itu?"

Raka refleks menoleh, ia menatap Galuh sedikit kaget. Ada yang aneh dalam ucapan itu, ia sendiri bingung. "Membantu apa?"

"Yang buat anak-anak itu bicara di depan kelas, kamu, kan?"

Lagi, Raka merasa aneh dengan ucapan itu. "Tak juga. Tia yang bicara."

"Padahal Tia bilangnya kamu. Kamu malah bilang Tia. Berarti keduanya. Apa pun itu, terima kasih, ya. padahal aku belum bisa ngajarin kamu melukis," balas Galuh. Ia sedikit lega. Entah mengapa hatinya merasa sedikit tenang ia sendiri bingung. Mungkin karena akhirnya ia bisa merasakan bahwa masih ada yang mendukungnya.

Sisi kamar yang perlahan kehilangan cahaya matahari mulai menyelimuti mereka. Keduanya adalah saudara yang kurang akrab sebelumnya, lalu rasa saling peduli perlahan tumbuh. Entah karena satunya lebih dewasa atau mungkin karena keduanya mulai menyadari jika hubungan keluarga mereka harus lebih baik dari sebelumnya.

Raka bergerak dari tempatnya, kemudian tersenyum tipis. "Kalau begitu segeralah." Ia keluar dari kamar sembari membawa handuk dan bisa diyakini jika dirinya pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sedetik kemudian Galuh mengingat percakapannya dengan Raka beberapa hari yang lalu. Raka hendak memberikan kado pada seseorang. Kado tersebut berupa lukisan. Galuh berusaha sekuat tenaga untuk memikirkan siapa gadis yang hendak diberikan oleh sepupunya. Kemudian satu nama terlintas di kepalanya.

"Retno."

Hatinya tiba-tiba terasa dicubit atau mungkin dicabik. Padahal sebelumnya ia merasa sangat sehat tanpa adanya cacat perasaan. Waktu yang ia habiskan bahkan belum sampai dua minggu. Banyak yang belum ia ketahui. Bisa saja orang itu bukan Retno, tapi hanya nama itu yang terlintas di pikirannya. Bukan Tia atau yang lainnya.

***

Ruang kelas terasa lebih berisik daripada biasanya. Pagi yang bisa menyambutnya dengan kesunyian dan kalimat buruk kini mulai berubah. Galuh sendiri tidak mengerti perubahan yang secepat angin berhembus itu. Murid-murid di kelasnya itu menatapnya dengan senyuman yang manis atau bahkan lebar. Beberapa juga masih tidak percaya dengan pengakuan yang bru saja didengar kala beberapa jam yang lalu.

Perubahan itu membuat suasana di kelas sedikit berbeda. kegiatan pagi sembari menunggu guru masih tidak berubah dari Galuh. Ia mengeluarkan buku sketsanya yang sudah berada di tengah halaman.

Satu kursi menghadapnya, di sisi kiri dan kanannya juga begitu. Daffa, Tia, serta Raka duduk di dekatnya, melakukan aktivitas mereka. Daffa yang bebricara dengan Tia, serta Raka yang sibuk membaca buku yang beberapa waktu lalu ia pinjam di perpustakaan.

Galuh menghentikan kegiatannya sebentar, kemudian menatap ketiga orang itu bergantian.

"Tugas awak dah selesai belum? Saya nak tengok."

Galuh menghela napas sejenak. Ia mengeluarkan buku tulisa matematikanya dan menyerahkannya pada Tia. Bukunya digeser sedikit oleh Tia, lalu gadis itu mulai menulis di atas mejanya, mengambil separuh bagian dari mejanya.

Galuh [Tamat]Where stories live. Discover now