∅7⸙ᰰ۪۪ Pikirkan

3 2 0
                                    

Jika melihat perbandingannya, Retno benar-benar berbeda. Bahkan sejak sebelum ia kenal dengan Retno, Galuh tahu perbedaan itu. Mata yang menatapnya sangat berbeda dari yang selama tiga hari itu ia rasakan.

"Retno memang baik. Para senior juge suka pada die," jawab Raka saat Galuh mulai bertanya ketika mereka menunggu pompong sampai di sisi daratan.

Raka akhirnya melompat, begitu juga dengan Galuh. Kaki mereka kembali bergerak, membawa mereka menuju sekolah. Ketika mereka pulang sekolah kemarin, pertanyaan kembali menumpuk di pikiran Galuh.

Apa yang terjadi pada Raka sampai-sampai ingin pulang bersama?

Mereka berdua berpisah ketika sudah melewati gerbang. Raka bergabung dengan murid-murid yang sudah mengeluarkan keringat di pagi hari. Sedangkan Galuh langsung menuju ruang kelas dan duduk santai sembari menggambar di buku sketsa kesayangannya.

Di kelasnya sudah lumayan banyak murid yang datang, hanya tersisa beberapa kursi yang kosong. Hanya saja, keramaian yang tiba-tiba menghampiri ketenangan itu membuat Galuh sedikit terganggu. Sumbernya berasal dari gadis yang ada di depan pintu. Ia menatap sekitarnya, mencari seseorang, kemudian saat tatapannya bertukar dengan Galuh, ia langsung masuk ke dalam kelas dan langsung menuju meja Galuh.

"Ini jadwal kegiatan ekskul." Gadis dengan jepit rambut berwarna hitam itu menyerahkan selembaran kertas kepada Galuh.

Galuh tersenyum lebar. "Terima kasih, Retno."

"Iye. Sejak anak kelas dua belas berhenti ikut kegiatan, semua tu dirombak. Kalau ada yang mau awak tanyakan, tanyakan je lah," balas Retno. Gadis itu menarik kursi dan duduk di hadapan Galuh. Ia menatap lawan bicaranya itu, menunggu kalimat lain yang akan keluar dari mulutnya.

Galuh menatap selembaran itu, membacanya dengan teliti. Jadwal ekskul ada pada hari senin, rabu, dan jumat. Rata-rata kegiatan hanya diisi dengan menggambar, dan tidak ada sedikit pun kegiatan melukis. Galuh menegakkan kepalanya menatap Retno.

"Sebetulnya dah sejak lama kegiatan melukis tak ada. Bukannye tak ada, tapi orang-orang tak ingin mengeluarkan duit buat itu. Kami merombaknye, evaluasi, lantas menyimpulkan kembali kegiatan ekskul seni—"

"Tapi saya bergabung karena mau melukis!"

Retno menatap Galuh, ia sedikit kesal karena ucapannya dipotong. "Saye belum selesai cakaplah. Saye tau hal itu. Karena itu, jike awak nak melukis dipersilahkan selama alat dan bahan punya awak sendiri. Juge, laporan kepada Cikgu Yana."

Senyuman kembali terpampang di wajah Galuh. "Oh iye?? Maaf sebelumnya! Terima kasih. Terima kasih, Retno."

Retno mengangguk, ia kembali berdiri kemudian kembali ke kelasnya. Melihat Galuh adalah hal yang baru baginya. Sebelumnya memang ada anak kota yang datang ke desa dan sikapnya sangat berbanding terbalik dengan Galuh. Kejadian yang tiba-tiba menimpanya itu membuatnya semakin penasaran pada sosok Galuh.

Kakinya melangkah pergi menuju ruangan kelasnya sendiri. Tidak banyak siswa yang ada di jurusan IPA. Jumlahnya hanya dua puluh orang, lebih sedikit dari pada jurusan IPS. Mereka selalu beranggapan selama masih menetap di desa, tidak ada yang diperlukan dari menghitung jarak tempuh sebuah mobil.

Tempat dirinya duduk selalu terkena sinar matahari, sangat silau sampai-sampai papan tulis sulit untuk dilihat. Retno tidak masalah dengan itu, karena saat sore hari tiba ia akan mendapatkan ruangan yang sangat menyegarkan untuk dirinya sendiri. Ruangan seni sudah ia jadikan sebagai tempat beristirahat pribadinya. Murid-murid yang bergabung hanya numpang nama untuk tambahan nilai sekolah.

Retno sudah mengenal Raka sejak mereka masih kecil, saat masih duduk di sekolah dasar. Dirinya dulu juga murid baru namun mudah bersosialisasi. Dalam satu minggu, seisi sekolah sudah mengenal dirinya, bahkan sampai dikatakan sebagai kembang desa. Tapi Retno tidak suka sebutan itu.

Galuh [Tamat]Where stories live. Discover now