∅9⸙ᰰ۪۪ Menjaga

10 3 0
                                    

Percakapan di ruang seni masih teringat oleh Galuh bahkan ketika malam sudah mulai larut. Meski badannya berada di atas kasur, pikirannya masih berada pada kalimat yang diucapkan Tia.

"Budak bandar? Jadi budak bandar ni dulu suka cakap macam-macam. Mulai dari cakap pekerjaan orang tua budak budak sekolah sampai kegiatan yang lain. Raka dulu yang selesaikan masalah tu."

Tia mulai bercerita saat suasana mulai terasa lebih baik. Retno sudah mulai melukis di dekat jendela. Sedangkan Raka duduk di sebelahnya. Galuh duduk dan mendengarkan Tia bercerita dengan suaranya yang sangat lantang.

"Sebetulnya cikgu di sini pun sempat kenaklah kalimat tu. Makanye, setelah hampir satu bulan, budak bandar tu langsung dikeluarkan dari sekolah, dan pindah ke Bandar lagi," tambah Tia lagi.

Galuh mengangguk pelan, sedikit mengerti. Semuanya mulai menjadi jelas baginya. Alasan mengapa banyak yang menjauhinya atau berkata dengan tidak ramah. Tapi tetap saja akal sehatnya tidak habis pikir. Kenapa menyamaratakan semuanya? Hal buruk bisa saja berimbas pada orang lainnya.

Galuh bergerak dari tempatnya. Ia menyeret kursi belajar Raka, kemudian mengeluarkan buku sketsanya. Ia membuka halaman kosong, dan mulai mencoret-coret buku tersebut menggunakan pensil kecil.

Malam yang larut itu memberinya pelukan yang dingin. Terkadang, hanya dengan melihat langit malam di desa itu, Galuh teringat akan sebuah lukisan yang pernah dibicarakan ibunya. Lukisan itu lukisan yang terkenal di kalangan para seniman.

"The Starry Night. Lukisan itu milik Vincent Van Gogh. Kalau dilihat memang seperti lukisan yang biasa saja. Lukisan dengan penggunaan cat minyak. Tapi kenapa sangat terkenal? Mungkin karena Vincent sudah sangat terkenal. Tapi Filosofinya juga perlu dipertimbangkan."

"Filosofi?" Galuh kecil tidak terlalu mengerti apa ucapan ibunya saat itu. Tapi, kalimat ibunya selalu ia ingat bahkan sampai akhirnya ia mengerti sendiri maksud kalimat ibunya.

"Filosofi itu pandangan dunia yang sistematis. Pada lukisan The Starry Night terdapat filosofi yang terasa beratnya. Katanya lukisan itu menggambarkan kehidupan yang dijalani Vincent, banyak kisah suka dan duka tapi indah, dan ia percaya terhadap harapan dan menerima realita. Jadi sebenarnya tidak ada kehidupan yang buruk, hanya saja semuanya sedang berputar sampai hal yang indah akan menghampiri."

Galuh mengerutkan dahinya. "Ibu ngomong apa?"

Ibunya Galuh tertawa, kemudian menjewer kuping anak laki-lakinya itu. "Makanya, kalau orang tua ngomong itu didengerin Galuh. Bukan melamun. Terus, suatu saat nanti kamu bakal mengerti." Kemudian kalimat itu diakhiri dengan pelukan hangat untuk Galuh.

Galuh menghentikan aktivitasnya, kemudian menutup buku itu kembali dan memasukkannya ke dalam tas. Begitu juga dengan alat tulisnya. Ia kemudian kembali ke atas kasur, duduk dan bersender pada dinding. Sedikit niatnya untuk tidur, tapi ia harus mengisi kembali tenaganya untuk menghadapi hari yang baru.

***

Tubuh Galuh terasa kaku saat ia bangun dari tidurnya. Ia terbangun sebab Raka menyipratnya dengan air. Ia mengusap wajahnya kemudian langsung membersihkan diri.

"Saye bakal akrab dan bantu awak di sekolah. Jadi ajari saye melukis."

Galuh yang maish setengah sadar itu memerlukan waktu yang panjang untuk mencrna kalimat Raka. Sampai akhirnya ekspresi kaget tergambarkan dengan sangat jelas di wajahnya.

"Dah, berbesih sana."

Galuh tersenyum lebar. "Terima kasih, Raka."

Galuh tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan untuk ke depannya. Ia sangat berterima kasih pada Raka yang mau membantunya, entah di hari pertama sekolah atau untuk ke depannya. Ia juga akan sangat berterima kasih pada Tia serta Retno.

Galuh [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang