∅5⸙ᰰ۪۪ Tak Kesah

10 3 0
                                    

Yang Galuh ketahui di hari keduanya di sekolah ada dua hal. Hal pertama adalah, Raka mengikuti ekskul futsal dan hal kedua adalah gadis yang ia lihat merupakan murid dari jurusan IPA yang berada di tingkat yang sama dengan dirinya sekaligus gadis yang selalu diantar pulang oleh Raka.

Tepat saat pantatnya baru saja menyentuh teras, Galuh diajak oleh kakeknya untuk berkeliling desa. Seperti formalitas berkenalan warga sekitar. Dengan rasa malas yang masih menumpuk, Galuh memakai sendal jepit dan mengikuti kakeknya dari belakang. Telinganya terus mendengar ocehan dari kakeknya yang terasa berat untuk diikuti.

"Jadi, engkau ni kenape pindah?"

Galuh menegakkan kepalanya dan akhirnya berpikir ada juga percakapan yang bisa ia ikuti. "Kalau kata Ayah, supaya Galuh tak melukis lagi."

"Terus engkau? Engkau sendiri macam mana? Engkau pasti tak nak dilarang macam tu, kan? Mau macam mane pun situasinye, engkau pasti tetap melukis. Same je macam Mak engkau," balas kakeknya sambil sesekali menyapa para warga desa dengan senyuman khas miliknya.

Galuh masih terus berjalan, tapi kini kepalanya tertunduk. "Iya. Rasanya, susah buat lepas, Tuk. Ibu pernah bilang, lakukanlah untuk Galuh sendiri. Karena itu, Galuh bakal buktikan ke Ayah, kalau melukis juge bisa membuat Galuh sukses. Tak payah dukung, tapi akui je, jika Galuh tidak terjebak ape-ape."

Diwang menatap Galuh sejenak. "Sukak hati kau je, lah. Tapi untuk sekarang, engkau pasti tahu kalau murid di sekolah engkau tak suke pada engkau." Kakeknya kini berhenti berjalan dan menatap satu ladang sawah.

Galuh mengangguk pelan.

"Budak-budak tu, masih sakit hati. Budak-budak kota biasanye suka sembarang kalau cakap. Karena itu, engkau juga kene buktikan, kalau engkau beda."

Diwang kembali berjalan menuju rumahnya. Hanya sepuluh menit waktu yang mereka habiskan untuk berkeliling sekitar desa. Sejatinya Diwang hanya melihat keadaan sekitar saja, memperhatikan apakah ada masalah atau tidak dengan desanya. Sejak menjadi kepala desa, ia sudah berniat menjaga desanya dengan sepenuh hati.

Satu seruan panggilan membuat Diwang dan Galuh berhenti dari jalannya. Satu rumah kayu yang lebih besar dari rumahnya sendiri, dengan satu orang pria paruh baya yang tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya menatap mereka.

"Ini, Tuk. Ada sedikit makanan berlebih. Baru je, nak suruh Retno antar ke rumah," ujar laki-laki itu sembari menyerahkan satu kotak plastik pada Diwang. Kemudian gadis muda muncul dari belakangnya. Matanya menatap Diwang dengan sangat ramah.

"Iye? Terima kasih. Oh, iye, ini cucu saye baru tiba. Namanya Galuh. Kebetulan, die satu sekolah sama Retno dan Raka, semoga korang bise akrab lah."

Ada maksud lain yang dipikirkan oleh Galuh. Perkenalan tersebut bukan hanya untuk memperkenalkan dirinya sebagai cucu kepala desa yang lain, tapi sebagai orang yang berbeda. Galuh merasa aneh sendiri saat mendengar kalimat tersebut. seperti, 'dia cucuku, jangan macam-macam' sesuatu seperti kalimat tersebut.

Detik kemudian Galuh menyadari bahwa harusnya Raka juga sudah pulang ke rumah. Gadis yang selalu diantar pulang oleh Raka saja sudah ada di rumahnya, berarti Raka juga demikian.

Tepat saat Galuh memasuki kamar, Raka sudah berbaring di atas kasur dengan seragam yang masih belum lepas dari badannya. Hal tersebut mengingatkan Galuh jika Raka tidak menggunakan kaos seperti biasanya.

"Kamu tak latihan tadi?" tanya Galuh. Ia meletakkan tasnya di sudut kamar, kemudian duduk di sebelah Raka.

Mata Raka yang tertutup oleh lengannya ia angkat sedikit demi menatap sepupunya itu. Tangannya kembali ia letakkan di atas kepala dan menutup mata, kemudian menggeleng. "Lagi malas."

Galuh [Tamat]Where stories live. Discover now