11⸙ᰰ۪۪Retno

4 0 0
                                    

Galuh menguap saat ia dan Raka baru berjalan setelah keluar dari rumah. Ia masih kekurangan tidur dan bangun begitu cepat. Dengan rasa terpaksa ia tetap berjalan menuju sekolah bersama Raka yang terlihat sangat bugar.

Meski samar, Galuh sadar jika Raka bangun lebih pagi darinya dan selalu berkeringat ketika pulang dari masjid. Susi memberitahunya jika Raka sering berlari pagi, berolahraga dan menciptakan stamina yang tinggi mengingat laki-laki berambut keriting itu bermimpi menjadi atlet.

"Engkau keitnggalan pelajaran ke tak?"

Galuh menatap Raka sebentar, kemudian ia kembali menatap jalan yang sedang ia tempuh dan menggeleng. "Nggak. Tapi di beberapa pelajaran ada beberapa yang kelewatan pas diajarin. Jadi sekalian ngulang juga."

Raka ber-oh ria dan mengangguk.

Sebenarnya Galuh jadi lebih banyak berbicara padanya kemarin. Bertanya banyak hal mengenai murid di kelasnya. Mencari tahu bagaiaman sifat dan kebiasaan mereka di kelas. Bahkan di sela-sela saat Galuh mengemasi alat lukisnya dan memasukkannya ke dalam tas jenjeng atau di saat mereka sedang sarapan. Raka tidak sedikit pun keberatan.

"Jadi engkau nak tinggalin alat lukis tu di ruangan?" Raka bersuara lagi saat pantat mereka sudah menyentuh kursi pompong, menunggu sampai di sebrang.

Galuh mengangguk. "Rencananya begitu. Semoga nggak apa-apa, sih." Galuh terdiam cukup lama. Ia tiba-tiba teringat sesuatu, namun mereka sudah sampai di sebrang. Ia sendiri bahkan tidak sadar jika terdiam lebih dari dua menit.

"Apa ada alternatif lain selain naik pompong?" tanya Galuh. Ia memasukkan satu tangannya ke dalam saku, dan satunya masih menenteng tas jenjeng yang berisikan alat lukisnya.

Mereka melangkah, melewati gerbang dan Galuh masih menunggu Raka menjawab pertanyaan darinya. Raka bahkan tidak berpisah darinya, seperti menandakan laki-laki berambut keriting itu masih berpikir.

Raka mengangguk tiba-tiba, kemudian menatap Galuh. "Ada. Tapi biasanye hanya dilewati ketike budak-budak pulang lewat dari magrib. Soalnye jarang ade orang mau nyebrang. Lewatnye memang tak payah naik pompong, tapi tetap je susah," ujarnya setelah berhasil mengingat. Kakinya melangkah, menaiki satu anak tangga.

"Susah kenapa pula?"

Raka menghela napas panjang. Ada samseng desa. Budak-budak habis diambil duitnye."

Galuh menatap Raka tidak percaya akan apa yang didengarnya. Anak sekolah desa yang bahkan memiliki uang lebih sedikit saja bisa diambil uangnya, apa lagi jika preman itu mengetahui dirinya berasal dari kota.

"Tapi Tia, sering lewat situ. Soalnye die dari desa sebelah. Jadi tak tau juge lah. Cume ye itu, kene mutar lagi lebih jauh dari Tempat penyebrangan tu."

"Heee."

Mereka akhirnya berpisah saat masuk ke dalam kelas. Kursi mereka yang berpisah dari ujng ke ujung itu hanya bisa terdiam. Meski Raka tidak begitu. Beberapa murid sibuk berbicara padanya saat ia datang. Ada yang hanya bertanya untuk basa-basi ada juga yang bertanya untuk meminjam tugas yang diberikan.

Galuh kembali pada aktivitas yang biasanya ia lakukan. Ia mengeluarkan buku sketsanya dan pensil, tidak lupa meletakkan alat lukisnya di laci meja.

"Buat apa tu?"

Suara Tia membuatnya kaget. Ia tidak sedikit pun sadar jika Tia sudah duduk di hadapannya, memperhatikan buku serta dirinya.

"Sketsa gambar," jawab Galuh seadanya karena memang itu nyatanya.

Tia hanya diam, menatap tangan Galuh yang sudah mulai menggerakkan pensil membentuk bangunan ruang. "Awak lebih pilih melukis ke menggambar macam ni je?"

Galuh [Tamat]Место, где живут истории. Откройте их для себя