∅2⸙ᰰ۪۪ Asalkan Suka

22 5 1
                                    

Sejak dirinya diingatkan untuk selalu bangun pagi jika berada di rumah orang, Galuh sudah membuka matanya lebih cepat dari biasanya. Perkataan dari mendiang ibunya masih terus ia ingat dan terapkan selama masa pertumbuhannya.

Matanya tidak menangkap Raka ketika bangun dari mimpi dan dirinya hanya berpikir jika Raka bangun lebih pagi darinya. Galuh meregangkan badannya, kemudian melipat kasur dan memindahkannya ke sudut ruangan. Kakinya bergerak keluar dari kamar yang hanya dibatasi dengan gorden dan pintu kayu.

Ia berjalan menuju teras rumah, di sana ia menatap kakeknya yang tengah memotong bambu hingga berbentuk sangat tipis dan panjang. Di kursi goyang ia bisa melihat neneknya yang tengah menjahit sebuah kain, dan di bawah sana ia bisa melihat Raka yang baru saja mengantar seorang gadis ke sebuah rumah yang terlihat lebih besar dari rumah keluarganya. Lima menit setelah itu, Raka duduk di anak tangga dengan napas yang menderu kencang.

Susi datang dengan lima cangkir teh dan beberapa bolu kemojo. Semuanya menggerakkan badan, lantas duduk melingkar di atas teras. Tanpa ada suara, tangan mereka bergerak, mengambil cangkir teh dan meminumnya atau memakan bolu terlebih dahulu.

"Jadi engkau, nak⁸ sampai kapan tinggal di sini?" Kakeknya membuka suara. Setelah menyesap teh, Diwang, kakek Galuh, menatapnya tanpa rasa rindu yang terlihat.

Galuh mengelus tengkuknya, merasa tidak enak. "Tak tahulah, Tuk. Tapi mungkin sampai lulus."

"Macam manalah orang sekolah ni. Apa pun tak tahu lah."⁹

"Alah, Ayah. Galuh baru je datang, tak payahlah cakap macam tu."¹⁰ Susi ikut berbicara berusaha menenangkan suasana.

"Takpe, Makcik. Macem tulah, Tuk. Tapi kalau ayah sampai suruh Galuh pindah berarti dia dah tak mau Galuh melukis,"¹¹ balas Galuh, ia tidak masalah dengan topik yang diangkat oleh kakeknya.

"Ayah engkau buat tu, pasti bukan tanpa maksud." Susi merespon.

Sejak dulu kakeknya memang orang yang sangat keras, karena itu Galuh juga berusaha terbiasa. Mau bagaimana pun kakeknya berbicara, ia terus berpikir bahwa kakeknya hanya khawatir.

Diwang menghela napas kasar, kemudian menegak habis teh-nya. "Yelah, tu. Dah macam tu, jangan lah pulak engkau nyusahin orang lepas di sini. Engkau anak kota, kalau sampai bermasalah, siape susah?"¹²

"Atuk juga," timpal Raka. Ia meletakkan gelasnya yang sudah kosong, lantas berdiri dan kembali masuk ke dalam rumah sebelum Diwang hendak memukul punggung remaja itu karena menyela ucapannya.

"Dah dah, engkau tak payah pikir yang bukan-bukan. Kalau dah siap, pergi berbasuh, hari ini engkau istirahat je dulu bantu mak cik nanti. Besok je baru sekolah. Engkau pun perlu terbiase, kan?"¹³

Galuh mengangguk. Susi mengelus kepala Galuh, kemudian kembali ke dapur. Galuh bisa melihat para warga desa yang sudah beraktivitas seperti biasa. Para petani yang sudah mulai membajak sawah, atau para pedagang yang mulai membawa dagangannya hingga ke pelabuhan.

Para pedagang di desai selalu seperti itu. Entah dagangan apa yang mereka jajakan, mereka akan berkeliling kapal, menjual makanan mereka, atau hanya meninggalkan makanan itu dan mengambil uangnya ketika sudah sore hari, Susi juga melakukan hal seperti itu.

Galuh akhirnya kembali masuk ke dalam rumah setelah kakeknya pergi dari rumah dan Raka berangkat ke sekolah. Hubungannya dengan Raka masih terasa canggung, sudah terlalu lama sejak terakhir kali mereka berbicara. Galuh juga sudah tidak ingat kapan. Yang pasti, masa pertumbuhan telah membuat pola pikir juga berbeda. Ia tidak bisa menebak apa yang ada di pikiran sepupunya itu.

"Makcik tak pergi ke pelabuhan lagi?" Galuh bersuara saat menatap Susi yang tengah mengaduk adonan kue berwarna hijau. Aroma pandan menyeruak ke seluruh ruangan. Meja yang dipenuhi cetakan dan loyang turut menjadi perhatian bagi Galuh.

Galuh [Tamat]Where stories live. Discover now