[35] Learn To Fall When You Love Someone

117 33 0
                                    

"Karena roh mimpi itu tidak memberi pilihan. Jika dia mati di dalam pikiranku, begitu pula kau."

⌞ E ⌝

M A J O R M E M O R I A

DIA selalu kehilangan apa yang dimilikinya ketika rasa sakit merundung. Termasuk ingatan.

Nama. Marga. Keluarga. Rumah dan jalan pulang. Dia melupakan itu semua selama seribu tahun. Salju membekukan memorinya, es memblokir jalan masuk menuju setiap ingatan yang ingin ia buka. Berbagai kekuatan yang menerjangnya dari atas merusak setiap pecahan kenangan. Yang tadi berupa serpihan, sudah menjadi debu.

Lucunya, kini ia terbangun, bangkit dari kubur salju. Gadis itu menariknya dari dalam sana, membersihkan luka dan melepas semua anak panah di punggungnya. Kemudian, gadis itu mengajari caranya berbahasa Pracia kembali, seperti dirinya yang dahulu. Satu dua patah kata keluar, dan yang terakhir dia menemukan identitas pertamanya. Nama.

"Noir," ia berucap, melebarkan mata seolah lega karena ada sesuatu yang dilepas dari tubuh. "Noir Gauvelaire."

Gadis di seberang ranjang bertepuk tangan riang. "Pintarnya."

Dia memperlakukanku seperti anak kecil, kata Noir dalam hati.

Gadis itu mengulurkan tangan. "Ayo, kita berkenalan dari awal lagi. Namaku Kalalia Eithnidgar, pelayan Dewan Langit."

Noir sempat ragu mendengar nama entitas pemerintah di akhir kalimat. Dewan Langit. Memorinya langsung terbuka, memunculkan ingatan lisan mengenai orang-orang di atas langit yang tidak menyukainya. Sekumpulan Dewan, dengan wajah angkuh nan dingin saat menatapnya. Mereka tahu tentang Noir, tentang dewa-dewi yang memilih pemuda itu sejak kecil menjadi tangan kanan Dewa Selias. Tetapi, mereka menutup mata atas segala kesulitan yang ditimpakan terhadap Noir, konsekuensi dari pekerjaan yang menjerumuskannya dalam kubur kebaikan hati.

"Aku tahu," kata Kalalia lagi. Mata peraknya menjadi tempat cahaya lilin terpantul, menari-nari di sana. "Aku tidak berbahaya. Lihat?"

Dia benar, Noir juga tahu apa yang dia katakan barusan diselimuti warna putih. Namun, "Kau bisa menyelamatkan orang dengan obat, Eithnidgar. Tetapi jika yang kuat datang, kau pun hanya akan mati sia-sia. Tidak masalah. Toh, kalau kau mau menyerahkanku pada Dewan sekarang, aku akan melupakanmu secepat kau menyembuhkanku."

Noir tahu itu sungguh kejam dan seolah mengabaikan kebaikan yang telah diserahkan untuknya. Di kondisinya saat ini, Noir merasa dialah yang paling sial. Karena, hal yang ia inginkan adalah kemungkinan mustahil, yakni bertemu kembali dengan adiknya. Kedua, dia sekarang terdampar entah ke mana hingga bisa dikatakan dia telah kehilangan rumah. Dia sendirian, dengan ingatan berantakan, dan dewa yang sulit dipastikan masih bersamanya atau telah bosan dan meninggalkannya.

Matanya memandang Kalalia. "Kenapa kau menyelamatkanku kalau kau bersama Dewan? Kau juga tahu identitasku, reputasi yang terburuk di antara yang buruk."

"Aku menyelamatkan mereka yang membutuhkanku," dia menjawab cepat dan tenang. "Aku bukan orang yang pilih-pilih."

Noir sedikit menyemburkan tawa. "Itu lucu, sebab tak banyak orang yang tak takut pada Dewan. Di zamanku, mereka memang jarang menampakkan diri pada manusia. Tetapi jika ada manusia yang mereka hapal wajahnya, maka manusia itu harus menjalani hidup tanpa kesalahan yang menyinggung Dewan. Kau sendiri, Eithnidgar, mengapa?"

"Aku mewarisi nama leluhur yang menghormatimu dahulu. Sudah sepantasnya aku berbuat demikian."

Noir memiringkan wajah. Dia menekuk lutut dan menempatkan sebelah pipinya di atasnya, memandang Kalalia penuh pertimbangan sekaligus keragu-raguan. Eithnidgar, ya? Noir ingat sesuatu tentang nama tersebut, nama sebuah wilayah dengan raja dan penduduk seindah padang bunga.

Gauvelaire Has PromisedWhere stories live. Discover now