[25] Sampai Jumpa, Kurang Lebih

96 32 0
                                    

"Aku mendengar nyanyian mereka lagi. Pilu, menyebalkan, dan mencabik. Seakan-akan wanita itu ingin mengubahku menjadi beberapa potongan tidak layak dipandang, secara harfiah. Oh, tolong, sudahilah. Kita sudah sepakat selamat tinggal kemarin adalah tanda bahwa kita tidak lagi terikat."

⌞ T ⌝

"APA target sebenarnya yang harus kami dapatkan di Archna?"

Aku menyingkirkan Aurelian dari benak dengan mengobrol bersama Kai, seolah-olah ini misi kami berdua. Pantai yang gelap karena cahaya bulan redup membuat suasana semakin hidup bagi kami. Kai melindungiku dengan rangkulan tangannya, mencegah sesuatu yang buruk seperti ombak merenggutku. Jemari kami bertautan hingga membentuk sebuah aliran gemetar, tempat pecahan jiwa kami saling bertukar bagian.

Ini bukan pertama kalinya, juga bukan yang keseratus kalinya. Kami jarang melakukan piknik antar saudara. Sekalinya kami berhasil menemukan waktu seperti ini, hal-hal yang kami ucapkan berbanding terbalik dengan alasan kami saling menautkan jemari.

"Seorang Gliffard dari generasi pertama, dia kabur sendiri. Namanya Zenya," jawab Kai. Aku merasakan napasnya di pundak, itu menenangkan.

"Apa keistimewaannya?"

"Dia berharga bagi Aurelian."

Entah kenapa, mendengar kata berharga dan Aurelian dirangkai menjadi kalimat seperti itu membuatku merinding. "Dia meninggalkan kalian di medan perang demi menemukan pacar Gliffard-nya. Hebat sekali."

Kai menghadiahkan sebuah sentilan di dahiku. "Lancang. Bukan begitu. Zenya sama seperti temanmu, Patricia. Langka."

Sama seperti Patricia.

Aku tertegun. Bicara tentang temanku yang paling nyentrik, dia adalah seorang Pembaca, satu-satunya yang ada di pulau. Pembaca melakukan hal-hal yang berhubungan dengan otak; memanipulasi pikiran, mengubah memori, dan bahkan menyusupkan sebuah perintah yang tak akan disadari korban mereka. Kemungkinan, Zenya jugalah satu-satunya Pembaca yang ada bersama Gliffard senior. Itu sebabnya Aurelian menganggap berharga dan ingin menginjakkan kaki ke tanah kotor pasukan Ribelin lainnya. Karena para Pembaca jarang muncul, dan sangat sedikit yang mampu mengendalikan kemampuannya.

Kata Kai, Patricia sebagai Gliffard Pembaca bisa menggunakan kemampuannya sebagai alat mengendalikan orang lain. Tetapi Patricia menolak untuk diajari bagaimana caranya. Sampai sekarang aku tak tahu apa alasannya.

"Lain dari Patricia, Zenya sudah mencapai tahap akhir Pembaca. Dia mampu menyuruh orang lain melakukan hal yang dia inginkan. Namun, meski kuat, dia sulit mengontrol diri." Kai menoleh padaku. "Austin menemukannya berlayar ke Archna, hingga kami semua tahu apa alasannya. Zenya pasti menganggap Archna adalah tempat teraman sekarang."

"Candaanmu keren."

"Zenya menganggap Archna adalah jalan keluar dari monster. Barangkali dia berpikir kalau dia bisa mengendalikan rajanya untuk memerangi monster. Dia segan ke Rimegarde, karena dia termasuk Gliffard yang ditakuti manusia. Rimegarde bahkan bisa memasang namanya di papan-papan besar sebagai tipe makhluk mutasi berbahaya."

Ah. Manusia Rimegarde takut pada Gliffard, sementara mereka tidak tahu kalau ada monster yang lebih mengerikan daripada anak-anak berkekuatan super. Ironisnya, kamilah yang harus maju menggantikan para tentara. Terutama di saat kabar Pracia tak lagi mampu membendung perbatasan.

"Kenapa tidak ke sini?" aku bertanya lagi.

Kai menggeleng. "Kurasa dia tidak mau Eli melihatnya meninggalkan rekan-rekannya."

Begitu rupanya. Namun, Aurelian tak pernah terlihat marah ketika sesuatu yang dia harapkan berjalan bengkok, sampai membuat korban. Selama tiga tahun, empat dari sepuluh misi hancur sampai kami nyaris kehilangan anggota. Bukan marah, Aurelian pergi ke tempat tujuan regu, memperbaiki kegagalan mereka. Dia tak pernah mengamuk atau mengungkit-ungkit dengan menyindir regu yang pulang membawa gagal.

Gauvelaire Has PromisedWhere stories live. Discover now