[12] Sambutan di Rumah Baru

101 36 0
                                    

"Ketika kekaguman berubah menjadi kesumat, penguasa samudera akan semakin terjebak di tempatnya dikurung."

⌞ E ⌝

KESADARANKU kembali.

Kupikir setelah membuka mata, semua yang terjadi―dari tercebur, tenggelam, hingga terseret arus―akan hilang. Nyatanya mimpi barusan hanyalah pembatas selama beberapa saat sebelum aku kembali dihadapkan dengan kondisi sebelum pingsan.

Kusimpulkan keadaan sekarang malah lebih parah.

Aku berusaha menggapai kembali ke permukaan. Masih saja tidak beruntung. Aku semakin dibawa menjauh dengan kecepatan di luar akal sehat. Mustahil tubuh kecilku melawan kekuatan air dengan berenang, bahkan tanpa trauma dan kebencian yang kutanam pada air. Antara aku akan mati sekitar tiga detik lagi karena kehabisan napas, atau kepalaku bakalan terbentur bebatuan.

Hebatnya, sedetik setelah aku membayangkan itu, aku sudah berada dalam air yang lebih tenang. Aku terlempar begitu saja ke sebuah hamparan biru nan luas.

Tempat sungai berakhir. Danaukah? Atau laut? Kalau berkata tak satu pun dari opsi-opsi tersebut kuinginkan, bukan berarti aku lebih memilih tetap berada di sungai.

Meski bebas dari tekanan, aku tidak melakukan apa-apa untuk mencapai permukaan. Sudah terlambat. Tubuhku terlalu lemah untuk bekerja, berenang, dan mencoba bertahan di atas sana. Yang kulakukan hanya membekukan diri dalam selimut air yang tak ingin kuketahui dasarnya.

Kepalaku berdenyut lagi, membuat penglihatan juga ikut mengabur. Mulutku meraup air secara mendadak ketika sadar bahwa paru-paruku tidak lagi menyimpan udara. Sepertinya terlambat jika ingin menyesali betapa santainya aku sebelum berusaha berenang. Aku akan mati, segera setelah cahaya silau di atas sana mengabur menjadi bercak-bercak gelap.

Gauvelaire!

Sebuah suara memanggil. Nama belakangku yang baru terus disebut berulang kali. Maaf, siapa pun itu, aku sudah kehilangan penglihatan sepenuhnya. Bahkan jika suara itu bicara di pikiranku, aku merasa niat untuk menjawabnya pun tidak ada.

Tetap sadar, Gauvelaire! jeritnya, sampai sebuah tangan meraih pergelanganku. Oh, mungkin orang yang sedari tadi memanggilku sedang berusaha menyelamatkan. Buktinya, tubuhku tertarik ke atas. Gerakan-gerakan renang membuat gelembung-gelembung kecil menerpa kulitku. Hingga pada akhirnya wajahku didorong untuk menerima udara di atas permukaan.

Terbatuk-batuk, aku mengeluarkan semua air yang sempat masuk ke dalam mulut sebelum pernapasanku terganggu. Setelah mendapatkan cukup udara, aku bisa membuka mata dan berhadapan dengan seorang bocah.

Anak itu nampak lebih muda dariku dengan cengiran segar dan gigi kelinci. Dia melambaikan tangan seakan ini waktu yang tepat untuk melakukannya. "Kau masih hidup. Keren!"

Aku setengah ragu itu adalah pujian.

"Kau suara di hutan," kataku tersendat. Pilek serasa berada di ujung hidung. "Kau si bangau."

"Terlalu cepat dua jam bagimu untuk menyimpulkannya. Ayo, Gauvelaire. Kita ke pantai dulu."

Meski kalimatnya mengajak, dia tetap memegang tanganku untuk membantu. Sebagian besar usaha mencapai pantai dilakukan oleh bocah ini. Padahal tubuhnya sama sepertiku, kecil dan kurus. Tetapi dalam waktu singkat dia mampu membawa dua tubuh sekaligus. Terlintas berbagai memori bagaimana aku dipaksa berenang sewaktu masih delapan tahun. Carmen membantu dan mengajariku cara mudah tetap hidup selama mungkin saat tenggelam. Simpan napas, jangan banyak bergerak, diam hingga menemukan celah untuk kembali ke permukaan. Kini tubuhku melupakannya, membuat label kriminal cilik hebat di punggungku menjadi bukan apa-apa.

Gauvelaire Has PromisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang