[07] Cahaya Malam Itu

117 44 5
                                    

"Jangan takut, pahlawanku. Kegelapan tidak pernah bertahan sendirian."

⌞ G ⌝

M A J O R M E M O R I A

SEMUA yang kulihat adalah wajah-wajah seram. Aku tahu itu hanya pohon-pohon gemuk dengan ranting terangkat yang menyerupai orang, tapi kepalaku berbisik kalau sewaktu-waktu mereka akan menerjang. Kucoba untuk membayangkan sesuatu yang manis untuk diletakkan di atas para pohon itu, topi lancip merah misalnya. Sayangnya itu masih kurang untuk memberikan kesan menyenangkan. Aku yakin topi merah sungguhan tidak dibutuhkan karena aku sudah telanjur takut.

Singkatnya, aku tersesat di hutan. Di saat matahari telah turun dan percik cahaya terakhir lenyap, aku masih bersikeras mengejar seekor kupu-kupu biru. Morpho Menelaus langka dan itu sangat cantik. Anak lima tahun sepertiku takkan menolak diajak kejar-kejaran sampai dia menghilang begitu saja. Keberuntungan di awal kini berubah menjadi petaka.

"Ibu!" seruku.

Pikiran terdalamku yakin dia takkan mendengar. Ini sudah dua jam sejak matahari tenggelam, dan aku tidak menemukan celah sedikit pun untuk keluar. Mungkin, aku malah semakin masuk ke dalam, bukannya mendekati padang rumput.

Aku berseru lagi. Tak ada jawaban selain burung hantu yang kesal wilayahnya diganggu. Aku mulai menutup mata dan menangis sambil terus berlari. "Bu!'

Dan kemudian, aku mendengarnya. Langkah kaki serta seruan samar. Suara perempuan. Seketika segala hal menyeramkan sirna dan aku langsung berlari lebih kencang, mengabaikan energi yang sudah di ambang batas.

Ibuku punya suara khas saat memanggil namaku, jadi aku tahu itu dia. Saat cahaya lentera yang buram tertangkap oleh mataku, perasaan lega menyelimuti dalam sekejap. Aku memaksa kaki lebih kuat. Walau semak-semak semakin melukai kakiku, aku takkan peduli asalkan aku meraih tangan Ibu lebih dulu.

Akhirnya, ketika aku melihat sosoknya dari dekat, aku melompat dan memeluk tubuhnya. Suara tangisku memecah keheningan di seluruh penjuru hutan, bahkan menerbangkan sebagian burung. "Ibu, maaf. Seharusnya aku tidak nakal. Seharusnya aku pulang."

Ibuku berlutut dan mencoba menatap wajahku, tapi aku langsung memeluk lehernya kuat-kuat. "Ibu pikir kau ke mana. Jangan pergi sembarangan tanpa meninggalkan jejak, Anna."

Aku kembali menangis. "Kupu-kupunya terlalu cantik. Aku ingin menangkapnya. Tapi―"

"Ibu sudah bilang, kan? Kupu-kupu tidak boleh kau dekati sembarangan. Lihat? Kau tersesat."

"Makanya aku sekarang tidak mau lihat kupu-kupu lagi!" rengekku.

Kupikir Ibu akan marah, tapi aku lupa, dia satu-satunya manusia di hidupku yang belum pernah kulihat dipenuhi kemurkaan. Dia pernah mencoba mengamuk karena kenakalanku, dan berkali-kali kegagalan menimpa. Kali ini, dia sepertinya lelah mencoba dan menggantikan kekhawatirannya dengan tawa.

"Anna, itu bukan solusi," katanya sembari menepuk-nepuk punggungku, menyalurkan ketenangan. "Ayo pulang. Besok kita akan pergi dari sini."

Kalimat terakhir hampir membuatku menjerit lega. Aku tak mau punya rumah yang dekat dengan hutan lagi. "Gendong?"

Ibu mendesah. "Apa kau lupa umurmu berapa?"

"Aku capek, Bu."

Tidak ada orang terbaik selain ibuku, yang bahkan masih mengalah untuk hal keterlaluan macam ini. Dia menghela napas, lalu mengangkat tubuhku yang sudah besar. Ibuku tidak terlalu tinggi, tapi jangan khawatir, Bu. Kau takkan cepat pendek hanya karena dibebani oleh beratku.

Lalu aku menyadarinya. Saat aku berada di pelukan kedua tangannya, di mana lentera itu berada? Cahaya hangat itu menghilang tiba-tiba.

Atau yang kulihat sebelumnya hanyalah ilusi?

Kupikir begitu, sampai akhirnya aku merasakan cahaya itu kembali saat aku hampir tertidur di pundak Ibu. Aku bertanya-tanya, siapa yang sedang membawakan cahaya itu tanpa membuat langkah kakinya terdengar?

"Kau harus lebih berhati-hati dan menjaga putrimu," seseorang bicara. Dia seorang laki-laki, tapi tidak tua sebab suaranya jernih. "Iblis bukan hanya para monster Ribelin. Mungkin aku juga salah satu dari mereka."

Saat Ibu diam, kupikir hanya aku yang mendengarnya. Namun, suara Ibu menjawab setelah hening panjang. "Terima kasih, Yang Mulia."

Aku tidak berani membuka mata untuk melihat siapa orang itu, sampai aku sudah tidak mendengar suara semak dan merasakan udara luar hutan yang sejuk. Kuberanikan diri melihat sekitar dan mendapati cahaya serta si orang asing sudah hilang dari sisi ibuku. Sebagai ganti, seekor kupu-kupu mendekati hidungku, lalu terbang ke arah hutan, membuatku mau tak mau melihat sesuatu yang kami tinggalkan di sana.

Seseorang masuk ke dalam hutan, bersama puluhan kupu-kupu bercahaya.

「 Gauvelaire Has Promised 」

Gauvelaire Has PromisedWhere stories live. Discover now