[02] Pencuri dan Hukumannya

300 69 28
                                    

"Putra-putri terberkati tidak tinggal dalam istana langit. Mereka pergi dari desa ke desa, kota ke kota, negeri ke negeri, mencari yang layak masuk taman Selias Agung."

⌞ G ⌝

JALANAN pasar ramai. Berdesakan seperti biasa, orang-orang memenuhi kios favorit mereka, membuat penyempitan ruang bagi yang hendak lewat.

Pasar mulai sesak sejak lima menit lalu. Orang-orang berkumpul, pedagang berteriak, dan suara-suara mereka melayang hingga ke tempatku. Tak satu pun tertangkap jelas di telinga. Aku hanya menebak-nebak kalau mereka mulai menawar dan meminta barang. Pada kondisi normal, aku akan menekuni cara si pedagang meladeni lebih dari sepuluh pembeli dan mereka semua ingin mengajukan permintaan berlainan. Itu akan bermasalah bagiku yang kurang teliti. Entah dengan ilmu ajaran siapa, para pedagang ini mampu menguasai peran mereka dengan baik.

Aku memperhatikan bagaimana khalayak mulai berseru-seru di dalam sana dari gerbang pasar. Bagiku yang memiliki tubuh anak kurang gizi, menyelinap ke dalam sana bisa saja dilakukan semudah berlari di padang berumput tinggi. Celah sekecil apa pun rasanya pas jika aku yang lewat. Tetapi aku paling tidak tahan jika aroma daging bercampur dengan bau keringat. Udara seperti itu bisa membuatku pingsan dalam satu menit pertama.

Aku memandang bangunan yang menjulang di antara deretan atap kusam. Jam kota belum menunjukkan tanda-tanda bahwa itu akan berbunyi. Tandanya, aku belum diperbolehkan melaju ke dalam gang. Ini kesengajaan. Bukan tanpa alasan aku pergi beberapa menit sebelum jam berdentang. Lebih cepat aku meninggalkan tenda, lebih besar peluang Logan takkan menghentikanku. Kebetulan sekali tidurnya nyenyak saat aku menghilang tanpa pamit.

Mungkin, saat aku kembali nanti, kami akan bertengkar lagi. Bisa dibayangkan tarikan jarinya pada telingaku mampu membuatku menjerit. Dan dia pasti takkan membiarkanku membalasnya dengan pukulan punggung.

Baru beberapa menit terdiam di hiruk-pikuk daerah pasar, hal yang ditunggu-tunggu muncul. Jam kota berdentang satu kali, menyadarkan lamunan. Panik, aku langsung meloncat ke jalanan dan berlari kencang. Astaga, aku terlambat menjalankan misi dan bersiaga di pintu gang.

Kuambil langkah secepat yang kubisa agar di dentang ketiga aku mampu mencapai gang. Semua orang kulalui begitu saja dan ada beberapa di antaranya yang terkena senggolan bahu. Beruntunglah aku cukup cepat, jadi mereka sudah tidak bisa melakukan apa-apa selain mengeluhkan tubrukanku. Di dentang ketiga, bahkan satu detik sebelum bunyi pasnya terdengar, aku sudah membanting arah ke dalam gang. Aku menang dari waktu yang ditargetkan kali ini, tapi bukan berarti boleh bersantai sejenak di saat jam masih mengeluarkan bunyi melengking.

Hampir mengenai pipa menonjol di dinding, aku menambah kecepatan lari tanpa pikir panjang. Di dentang kelima, aku ingin berhenti karena napasku kacau, mulai ada sesuatu yang tak kasat mata melilit perut. Cicit tikus yang tadinya hendak menyebrang dari tembok satu ke tembok seberang menyingkir setelah genangan air diinjak olehku. Mereka memasang rem dan mengalah agar aku bisa lewat lebih dulu. Aku setengah yakin mereka sedang menjerit takut, sebab raksasa kurang ajar sepertiku tiba-tiba menerobos jalan mereka. Hm, siapa yang tidak terkejut?

Namun, bagi lorong ini, aku hanya seorang bocah kecil yang mampu disesatkan oleh waktu. Selagi aku fokus pada setiap dentang yang dihasilkan, lorong-lorong ini berniat menghalangiku. Cara yang pertama adalah dengan bau busuk khas genangan air hijau. Aku selalu ingin berhenti saat baunya menyengat di hidung. Lebih parah dari aroma khas daging dan keringat, tetapi lebih cepat dilalui. Cara kedua adalah tumpukan batu yang bisa berceceran saat angin ekstrem. Kurasa batu-batu itu tidak berubah sejak kemarin, tapi sama saja, itu hendak menghalangiku bagai pion lawan. Kalau aku lengah di berbagai tikungan, khawatir kakiku akan menyusul punggung Logan.

Gauvelaire Has PromisedWhere stories live. Discover now