[22] Pencuri Takkan Lupa

82 32 1
                                    

"Kau punya tiga permintaan yang bisa kukabulkan. Sebutkanlah sebagai bentuk balas budiku."

⌞ B ⌝

TIGA tahun memperhatikan Gliffard bertarung dengan pedang-pedang kayu, aku mulai terbiasa dikucilkan di tengah-tengah latihan.

Lebih tepatnya, tidak ada yang memperbolehkanku naik ke arena. Jadi sementara para Gliffard asyik bertarung berpasangan, aku satu-satunya orang yang duduk di tepi, memandangi mereka dengan kagum. Bukan hanya Ren yang membuat mataku dipenuhi binar iri. Semua, bahkan Luca.

Para Frey cerewet mengatakan bahwa tugasku bukanlah bertarung, tapi mencuri. Jadi untuk apa repot-repot berlatih kalau aku bisa merebahkan diri sebelum misi selanjutnya? Bagi sang raja, label prajurit bisa disematkan pada siapa saja yang berani melakukan sesuatu baginya, dan itulah aku. Mencuri, membawa pulang darah sesama kaumku di dalam vial-vial bening. Kuakui pekerjaanku memang berisiko lebih tinggi dari para Gliffard, sebab sekali saja aku tertangkap, aku akan mampus, aku takkan bisa lari atau menyerang.

Hari ini, selain gravitasi para Penarik, semua latihan diliburkan. Hanya ada aku, Luca, Pat, si kembar, Miki, dan Ren di lapangan dekat pantai. Seperti biasa, aku hanya memastikan tidak ada korban di antara orang-orang yang bertarung. Kebetulan saja Patricia hendak berduel dengan Ren sehingga kini aku tidak sendiri menonton.

Pertarungan sudah berlangsung sejak lima menit lalu. Tangan kosong, tapi pukulan yang menyebabkan memar dilegalkan. Patricia ahli dalam pertarungan sejenis ini, tapi Ren bukanlah tandingan bagi siapa pun. Dia murid terkuat, meski hanya seorang Gliffard Pendengar. Satu kali pernah aku bertanya pada Kai, kenapa Ren bisa jadi sekuat itu padahal dia termasuk jenis yang ... em, tidak spesial-spesial amat atau (maaf) lemah?

"Dia punya gaya bertarung yang mendarah daging," jawab Kai. "Kita hanya tidak tahu siapa yang mengajarinya."

Patricia mengerang saat punggungnya menubruk tanah.

"Kau kalah," kata Ren. "Harus puas dengan ini."

"Enak saja!" Patricia mencoba trik menjatuhkan kaki lawannya yang masih berdiri, tapi Ren memanfaatkan telinga tajamnya untuk memprediksi hal tersebut. "Aah! Menyebalkan."

Kami para penonton tertawa.

Aku bangkit untuk membantu si cantik garang kami bangkit sebelum dia benar-benar kotor di atas tanah. "Itu lumayan," kataku. "Lebih lama dari beberapa pertarungan sebelumnya."

"Benarkah?" Matanya yang haus pujian muncul.

"Nggak. Kau tidak berkembang." Dan Ren menghancurkannya sebelum aku setuju dengan Pat. Pemuda itu menepuk-nepuk kaki pucatnya, lalu menjejalkannya kembali ke dalam sepatu bot. "Katamu kau ingin jadi penyerang. Tetapi kau hanya mengulur-ulur waktu. Pertahananmu juga tidak ada bedanya, mudah ditembus." Kemudian, dia melangkah pergi. "Nanti, aku kembali."

Patricia menggerutu kembali. Dia menjatuhkan diri di batang pohon tumbang bersama Miki, merengut di samping temannya.

"Ren makin mirip pamanmu, Anna," komentar Cal. Dia duduk di bawah sebuah batu besar bersama kembar satunya. "Keras, dingin, tapi untungnya tidak membentak."

Wim terkekeh. "Mengingatkanku saat Tuan Kai menggerutu soal bagaimana kita bercanda di tes gravitasi."

"Oh," Luca mendesah. "Itu kenangan buruk."

Luca malang. Dia berkembang, tentu saja. Meski lambat tapi kami yakin dia bisa jadi Penarik hebat suatu saat nanti. Lagi pula kalau dia tidak terlalu pengecut terhadap wajah-wajah seram para monster, kekuatan bertarungnya bisa menyamai si kembar. Itu poin plus yang meloloskannya dari penilaian buruk Kai.

Gauvelaire Has PromisedWhere stories live. Discover now