[23] The Letter

74 30 0
                                    

"O, Pracia, tunjukkanlah belas kasih. Ke mana kau akan pergi selagi kami mempertahankanmu?"

⌞ G ⌝

KEPANIKAN belum pernah terasa semenyesakkan ini.

Sudah dua bulan Aurelian tidak kembali dari sesuatu yang dikerjakannya, jadi dia menyuruh Kai tinggal sehingga pamanku otomatis berada di masa istirahat panjang. Biasanya, Kai-lah yang aktif dengan pedang, memburu monster, sampai mengikuti program-program Dewan. Tetapi dua bulan terakhir, Aurelian seakan menjejalkan seluruh tugas Kai ke dalam tong sampah dan menggantikan dirinya sampai aku tidak pernah melihat sang raja lagi.

Paling-paling Aurelian pulang untuk mengambil jatah darah yang sudah sang pencuri siapkan.

Kini memandang wajahnya saja janggal, apa lagi setelah dia menyambutku dengan kalimat paling mencurigakan. Antara dia sudah bisa mencium bau Atlas yang tercampur dengan aroma seragamku, atau dia tidak senang aku keluar pulau sebelum dia pulang. Apa pun. Aku hanya bisa keluar dari persembunyian dan menghadapinya dengan wajah masam.

Oh, halo, Tuan Matahari. Senang melihatmu masih hidup dan bernapas di malam yang indah begini. Kuharap kau bisa mengerti untuk apa aku pergi ke luar tadi. Jawaban versi menyebalkan sudah siap di kepala, tapi alih-alih aku berkata: "Jelaskan apa maksudnya perbatasan sudah takluk!"

Tebak apa yang terjadi setelahnya.

Aku mematung, menyesal sudah memberikan kesan keras di awal pertemuan kami setelah beberapa bulan tidak saling menatap. Di sana, di atas meja panjang tempat seorang pimpinan biasa meletakkan tangan, dia duduk manis sembari melempar-lempar rendah sebuah apel merah. Belum cukup dengan posisinya, mataku dibuat melotot dengan pakaiannya. Kaus putih, terlalu terbuka dan santai. Aku bisa melihat bagian pucat dirinya yang belum pernah nampak selama tiga tahun.

Terlintas pemikiran bahwa Aurelian tengah memudahkanku menikam jantungnya. Kemudian semua berubah. Aku malah bertanya-tanya mana yang lebih cantik. Apel yang kelewat merah, atau dia sendiri.

"Kuharap kau tidak keberatan mengatakan sumber informasimu," dia membalas.

"Orang-orang desa tidak bisa berhenti panik begitu mendengar kabar perbatasan jatuh." Kucoba mengatur napas, membuatnya tenang dan terkesan kesal. "Sekarang, giliranmu."

"Yeah, aku belum bilang, ya?" Apel di tangannya berhenti meluncur di udara. Aurelian meletakkannya baik-baik di samping. "Etika sebagai prajurit, Gauvelaire, duduklah lebih dulu seperti yang sudah dicontohkan teman-temanmu."

Tidak perlu melirik untuk tahu semua anak tengah memandangku dengan raut aneh. Manusia yang satu ini berani sekali, begitulah pikir mereka. Tetapi, aku tidak terlalu malu menghadapinya.

Bangku-bangku panjang berderet di kiri dan kanan ruangan, menyisakan sebuah jalan dari pintu sampai ke mimbar. Aku harus memilih tempat duduk yang paling dekat dengan Aurelian, tempat yang strategis agar dia bisa mendengar segala protes yang hendak kusampaikan. Ketika Wim mengangkat tangan untukku, seketika perasaanku lega.

Semua temanku berada di kursi paling depan sebelah kanan. Kuputuskan tidak bertanya mengapa mereka menyediakan tempat bagiku atau heran tentang alasan mereka duduk di paling depan.

"Kau konyol," bisik Miki yang menghimpitku dengan Pat. "Masa mau mati cepat gara-gara membuat Tuan marah."

Ren melirik dari ujung. "Diamlah."

Sepenjuru ruangan kembali dimakan hening. Itu berlangsung selama dua menit lamanya sampai Kai menggebrak sunyi dengan sibakan kertas. Dia luput dari mataku, padahal dia hanya duduk di belakang meja, bersama Letnan.

Gauvelaire Has PromisedWhere stories live. Discover now