[30] Learn To Fall While Dancing

91 31 6
                                    

"Buka gerbang. Sambut dia, raja di rumah sederhananya sendiri. Burung hantu 'kan kabarkan kepulangannya pada batu-batu penuh tangis di dalam hutan."

⌞ G ⌝

SELAMA sisa hari, aku kedapatan sial karena harus menunggu bersama Zenya.

Gadis itu sebenarnya cantik bukan main. Kulitnya selalu mengingatkanku pada Kapten Orna, perunggu mengilap. Luka kecil di sudut mata kiri tidak menimbulkan kecacatan dalam parasnya. Aku suka matanya, hijau daun dan tajam seakan benar-benar menembus pikiran setiap orang yang ditatap. Meskipun rambutnya sewarna denganku, aku akan lebih senang kalau kami bertukar saja. Saking kusutnya, aku hampir meringis tiap pagi karena ikatan rambut menggumpal dan sulit diuraikan. Lihatlah rambutnya yang bergulung-gulung indah itu! Coba saja dia berhenti merengut dan tersenyum, pasti lebih menyerupai bangsawan dari tanah perbatasan.

Sifat temanku Patricia juga hampir mirip dengan Zenya. Aku mulai bertanya-tanya apakah semua Pembaca bersifat sama atau kebetulan saja?

"Jangan lihat-lihat, anak bodoh!" Dia menghardik saat mataku menatapnya lebih dari satu menit.

Aku tidak melihatmu! kataku dalam hati, mungkin dia membacanya. Yah, penyangkalan sungguh tidak berguna jika dihadapkan dengan orang-orang yang bisa mengintip pikiran.

Kubenarkan posisi duduk di pohon jatuh yang sama dengan Zenya. Dia melipat tangan dan duduk tegap, bersikap siaga jika ada sesuatu yang mendekat. Walau pisau-pisau miliknya kini ditahan Kolonel, aku cukup paham dia masih memiliki kekuatan untuk membunuh. Level paling atas dari Pembaca. Mengontrol orang bahkan makhluk lain, pikirku. Wah, berbahaya, jelas sekali.

Jauh dari kami berdua, tiga lelaki yang satu di antaranya adalah bos Zenya, satunya bosku, dan satunya lagi orang asing, berbicara menggunakan bahasa asing yang kudengar jika Aurelian mengoceh pada Kai dan Austin. Aurelian bilang pria jubah hitam mungkin adalah Frey, dan dia memang Frey. Tapi Kolonel? Aku baru tahu dia bisa berbicara dengan bahasa mereka.

Mungkin karena Kolonel jugalah termasuk manusia istimewa, seperti Ibu. Dia bisa melihat, mendengar, merasakan, bahkan memahami para makhluk yang seharusnya tertutupi keberadaannya dari indera manusia. Jadi selama ini, aku hanya menumpang hidup bersama orang-orang yang memiliki kemampuan spesial, sementara aku bodoh, otak lamban.

Aku memandang Kolonel. Cuek. Dia nampak lebih tertarik untuk berbisnis dengan para Frey ketimbang berbincang denganku. Selama persiapan lima hari di pulau, sama sekali tidak terpikirkan bagaimana reaksi yang harus kutunjukkan pada Kolonel. Kedua, aku tidak ambil pusing bagaimana ekspresinya terhadapku nanti. Selama ini aku adalah prajurit, dan tiada waktu untuk menjalani kehidupan manis layaknya yang terjadi di asrama dahulu. Aku memang merindukan diriku sewaktu sepuluh tahun, hanya seorang bocah yang gemar bermain-main di siang hari dan malamnya membuntuti pria berlabel "Ayah Angkat" ke pertarungan. Tapi baru terpikirkan kalau aku merindukan Kolonel lebih dari sekadar seorang murid pada pemimpinnya.

Aku bukan mengharapkannya bersikap dramatis secara mendadak. Hanya saja, dia tidak mengatakan hal yang lebih mengejutkan sekaligus menyenangkan selain "Sudah lama tidak berjumpa, ya, Anna." Setidaknya katakanlah sesuatu yang menunjukkan kalau dia memang senang aku ada di depannya, masih hidup utuh-utuh. Atau jelaskan sebenarnya alasan dia pergi selama bertahun-tahun.

"Selain dungu," Zenya berkata, membuatku terkesiap, "kau juga manja dan tak punya otak, ya?"

Kuakui dungu dan yang paling akhir adalah keistimewaan sial yang melahirkan bakat spesialku. Manja? Aku butuh pinjaman seribu pedang untuk menusuk-nusuk setiap orang yang mengataiku demikian.

Aku baru ingin menggeram padanya ketika tubuh tinggi Kolonel menjulang di depan. Aku harus mendongak hingga leherku berbunyi kecil baru bisa menatap wajahnya.

Gauvelaire Has PromisedWhere stories live. Discover now