[34] Langkah Kaki

80 30 1
                                    

"Kenapa aku sulit mendekatinya? Kenapa di saat darah membanjiri tubuhnya, sadar bahwa nyawa sudah lama melayang dari raganya, aku malah berdiam diri dan tidak mampu bergerak lebih jauh?"

⌞ G ⌝

AKU belum sempat menjawab dengan bantahan lain. Suara derap langkah yang cepat dari arah kami datang sebelumnya memecah fokus. Dia datang dari balik kegelapan pantai yang tiba-tiba jadi begitu pekat. Aku menebak ada sesuatu yang terjadi, karena itu Ren datang tergesa-gesa, bahkan merubah raut sampai seserius mungkin. Pisaunya masih ada di genggaman, tapi menganggur selagi ia berlari dengan kecepatan penuh.

"Terlambat," kata Ren saat dia sudah berada di jarak pendengaran kami. "Mereka datang."

"Tuh, kan!" Zenya menghentak-hentakkan kaki. "Kalau begini, lari pun percuma. Mereka bisa mengejar dan memerangkap kita. Satu-satunya jalan memperlambat kematian hanya dengan bertarung." Dia menatapku dengan kekejian sepenuh hati. "Tentu saja kau akan jadi santapan terakhir, santapan utama mereka. Hanya karena monster suka denganmu, bukan berarti hidupmu panjang."

Kolonel menyenggol perempuan itu dan membungkamnya lewat pelototan.

Ren tersengal saat tubuhnya berhenti, terbungkuk karena paru-parunya sulit menerima udara pernapasan secara normal. "Aku kepingin membunuh Priam."

"Kau tidak terluka!" Kecuali pipinya.

Dia membalas ucapanku. "Dari jalur batin, dia telah menabrak habis kesabaranku hingga pengampunan sudah di ujung tanduk. Diam, Anna, kau cerewet sekali." Dia memandang Zenya, hendak mengusulkan sesuatu lewat kedipan mata sesama Gliffard. "Rencana utama Tuan Elios sudah hancur berantakan. Seharusnya kita menyudutkan Saalar dan monster ke bagian dalam Archna, lalu kabur dengan kapal para Gliffard. Tapi kini kapal dibatasi oleh ratusan monster yang berderap kemari. Kalaupun bisa mengalahkan mereka, masih ada banyak di pelabuhan."

"Kenapa tidak coba mengelilingi pantai dari hutan?" Aku mencoba peruntungan dengan usul tersebut.

"Konyol. Lewat situ malah lebih mempercepat proses kematian." Dia kembali pada Zenya. "Atur formasi, Kapten."

Si gadis berpangkat kapten itu langsung menurunkan Patricia. Dia meraih pisau-pisau yang menggantung rapi di pinggangnya. Aku curiga masih ada banyak pisau di balik lipatan lengan dan sepatunya. Tapi aku tak punya nyali bertanya. "Jika selamat, puja aku. Jika mati, ya sudah, terima saja." Itu pesannya sebelum dia memberikan perintah. "Lingkaran di tengah pantai, jangan terlalu dekat dengan air laut."

Gemuruh kembali datang dan membuat kami terpacu untuk segera membentuk formasi dari instruksi. Getarannya terasa berkat banyak kaki raksasa yang sedang menuju kemari. Bentuk kami lingkaran, saling memunggungi satu sama lain dengan Patricia sebagai pusat. Aku akan merajuk jika mereka coba-coba mendesakku ke posisi yang sama dengan Pat.

"Kau, Gauvelaire," Zenya berujar sambil menunjuk Kolonel. "Hemat pelurumu dan jadilah senjata jarak jauh. Kau akan berguna untuk Saalar betina dan beberapa yang bisa terbang. Tapi, usahakan pertarungan jarak dekat walau menyusahkan."

Kolonel hanya memiliki satu senjata, yaitu pistol. Aku takut dia harus kerepotan dan berdarah sana-sini akibat pertarungan yang tak imbang antara tangan kosong dan cakar.

"Kalau kau tidak mahir menggunakan pedang, Tuan," Zenya memulai sembari memperhatikan Paman Finn yang mengayun-ayunkan pedang pemberian Tuan Gagak, "setidaknya bantulah dengan melindungi aku jika serangan titik buta diluncurkan. Aku dan Ren akan menjadi benteng kalian. Sementara kau, Anna, cukup gerakkan belatimu hingga merasa cukup dekat dengan Saalar. Bertarunglah dengan tangan biasa."

Aku mengikuti gaya Kolonel yang menyimpan pistol baik-baik di tangan. Satu lengan lagi difokuskan pada kekuatan dari segenap otot-ototnya, mengepal kuat namun terasa ringan. Aku mencontoh gerakan tersebut bersama belati. Intinya harus fokus pada tangan yang kosong, dan pusatkan ketajaman bidikan target pada belati.

Gauvelaire Has PromisedWhere stories live. Discover now