[26] Sesuatu yang Disebut Kematian

77 26 0
                                    

"Suatu hari, aku berharap aku adalah Noir Gauvelaire."

⌞ G ⌝

SETIDAKNYA elang ini menjatuhkan kami di pantai, daripada hutan Archna yang penuh pohon-pohon tinggi.

Aurelian membangunkanku, mengingatkan soal ransel yang goyah di pelukan. Dia sudah berdiri di atas punggung elang sementara aku ragu untuk melakukannya.

"Ayo," katanya. "Aku ingin elang ini bisa pergi dan terhindar dari tembakan penjaga."

Belum ada dua detik aku berdiri kepayahan, Aurelian sudah menarikku untuk melompat jatuh. Dia memaksa untuk tidak berteriak dan memancing keributan, sekalipun kami masih berada di daerah pantai sepi. Melihat pasir kusam di depan jajaran pagar hutan, aku jadi teringat pada bukit tempatku terguling meninggalkan Logan. Itu salah satu memori yang tak bisa kepalaku hindari saat melompat dari suatu tempat tinggi.

Aurelian menarik tanganku hingga aku mendarat menyamping di pasir. Berguling-guling sampai terpental jauh, aku menutup mata dan mulut rapat agar pasir tak masuk. Tetapi pasir berukuran kecil, bisa menembus kapan saja aku lengah.

Aku meludah saat atraksi yang jauh dari kata epik itu berakhir dengan berselimut pasir tebal. Si burung raksasa tidak mengeluarkan suara dan berbalik pulang menuju rumahnya. Selain kepakan sayap samar dan sapuan air, pantai ini hening tanpa kehidupan.

Aku berdiri dan menepuk-nepuk sekujur tubuh untuk menghilangkan pasir. Rambutku tidak akan selamat dari pasir selama beberapa jam mungkin, tapi biarlah. Kantong makanan kusampirkan di bahu sambil mengarahkan mata ke hutan raksasa yang langsung menjaga pantai. Gelap sekali kelihatannya.

"Kita di barat Archna," kata Aurelian. "Di sini harus hening atau pendengaran vampir akan menyadari keberadaan kita."

"Bukan dari bau?"

"Mereka punya dua cara untuk mengetahui orang asing. Di barat, yang bertelinga tajam lebih dominan. Ayo."

Kami masuk ke dalam pohon-pohon, meninggalkan pasir dan cahaya. Aku menekan keyakinan untuk terus melangkah ketika melihat pemandangan hutan begitu luas tanpa terang. Biasanya aku takkan takut ketika berjalan sendirian di hutan dekat panti, bahkan ketika jalan-jalan di hutan luar rumah bersama Kolonel. Tetapi di sana nihil monster, dan aku memercayai peri, bukan melihat hantu. Di sini, aku tidak berani menganggap makhluk-makhluk di luar bayangan manusia itu hanya sedikit.

Aku menyusul Aurelian yang cepat bergerak walau sesekali menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Keberadaannya juga membuatku gelisah, apa lagi setelah beberapa kali menengok ke pantai. Kini cahaya di belakang pun sudah lenyap, begitu juga dengan suara ombak.

Sesuatu jatuh di semak sampingku. Aku berjengit ke pohon besar lembap dan menyentuh batangnya. Aurelian langsung berbalik karena mendengarku bergerak ribut. "Itu hanya buah pohon," katanya. "Biasakan dirimu dengan sesuatu yang ada di balik kegelapan. Itu pelajaran dasar."

Hutan ini begitu penuh kelembapan. Semakin menjauhi pantai, bau tanah tercampur embun menyeruak. Teringat dulu Kolonel mengajarkan lirik "Pohon dan Peri" padaku. Dia mengira aku akan takut pada hutan Rimegarde, takut pada hewan buas yang bisa saja muncul. Tetapi aku hanya mengabaikan rasa cemasnya, terus bernyanyi keras hingga melompat-lompat di pohon yang jatuh. Aku berkata pada Kolonel untuk tenang dan hirup udara hutan yang menyegarkan saja daripada terus memanggil-manggil namaku. Sekarang, aku berharap dia menyerukan namaku berulang-ulang, agar aku selamat dari bahaya. Andaikan dia memang ada di Archna, aku berharap dia bisa menemukanku lebih dulu.

Aku menoleh ke sembarang arah, menangkap siluet yang tidak bergerak dari balik pohon. Aku menatapnya lama, hingga menyadari itu bisa saja orang di dalam jubah hitam. Sambil terus memelototinya, aku berlari ke Aurelian. Belum sempat memanggil, aku sudah terjatuh karena kena akar mencuat yang tebal.

Gauvelaire Has PromisedDär berättelser lever. Upptäck nu