[08] Sang Penukar dan Bayarannya

124 47 7
                                    

"Aku ingin menjelajah, aku ingin pergi, aku ingin bebas. Dan kalian―takkan kuizinkan kalian menghalangiku."

⌞ H ⌝

TIDUR panjang.

Sangat beruntung aku memiliki waktu untuk memejamkan mata dan beristirahat sebentar dari pertarungan. Mimpiku bekerja sama kali ini, menghidangkan berjuta kenangan lama yang mungkin sudah kulupakan. Namun, dari sekarang, aku bersumpah takkan menghilangkan satu kenangan pun tentang Logan di kepala.

Memikirkannya saja sudah membuatku sadar kalau aku telah bangun dari tidur. Hanya mataku yang belum ingin terbuka. Terlalu berat. Kutebak, ini terjadi karena air mataku tak kunjung berhenti, mungkin saat tidur pun aku masih menangis.

Kau puas, Logan? benakku membentak. Ya, sekarang lihatlah aku menderita sendiri.

Tidak peduli seberapa dalamnya rasa sakit yang telah Logan berikan di saat dia meledak bersama bom rakit, aku sadar masih banyak yang harus diperhatikan. Maka aku mencoba membuka kedua kelopak. Setelah mataku mencoba terbiasa dengan kegelapan, sedikit cahaya dari ventilasi membuatku bisa melihat sekeliling. Pintu ada di bawah ventilasi, tempatku berbaring sekarang adalah sebuah kasur, dan piring bundar berisi makanan terletak di atas meja samping kasur.

Ini adalah ruangan yang tak pernah kukunjungi lagi setelah kabur. Kamar.

Aku berusaha duduk sehabis menyingkirkan selimut. Rasa sakit menyebar dari hati ke seluruh tubuh. Aku tahu yang paling mengerikan adalah kaki serta pinggang. Aku berlari dan tertusuk duri di sana. Jika ada cahaya lebih, aku pun tidak heran jika tanganku terasa lemah. Aku benci bagian itu, selalu saja tak sekuat milik orang lain.

Aku hampir terjatuh ketika ingin berdiri. Seluruh kakiku seperti sedang ditusuk-tusuk pisau. Tapi bukan masalah. Ada yang harus dipastikan di luar sana.

Suara tawa anak-anak menuntunku pergi ke arah mana. Meski saat membuka pintu kutemukan beberapa lorong berlainan arah, aku bisa mengandalkan pendengaran. Tidak sulit menemukan tempat di mana anak-anak itu terkekeh sembunyi-sembunyi, seakan mereka tidak mau mengganggu orang lain di bangunan ini.

"Dan pelaut itu menemukan sesuatu yang lebih mengesankan dari harta karun." Aku kenal suara ini. Si pemuda emas. Asalnya dari pintu terbuka.

"Kau pandai mendongeng!" puji seorang bocah, diselingi ucapan yang lain. "Yang tadi mirip dongeng yang disukai Logan dan Anna. Apa ... Eh, apa namanya?"

"Hingeres Wonth!"

Aku tersentak. Hingeres Wonth, nama yang tak asing. Nama itu membangkitkan kenangan lain bersama Logan. Sebuah dongeng tentang seorang kapten yang menjelajahi seluruh samudera, hingga menemukan daratan baru yang disebut Elysium. Memang, itu dongeng yang aku dan Logan sukai. Sampai ada lagu yang iseng dibuat Logan setelah berulang kali kami membaca perjalanan Tuan Wonth.

Kupaksakan kaki lebih cepat hingga sampai di ambang pintu. Terlihat di dalam sana empat orang anak panti sedang mengelilingi si pemuda emas yang duduk di atas kursi tua. Seketika ada cemburu yang menenggelamkan harapanku. Mereka terlihat begitu akrab, begitu dekat, menempel, sehingga konyolnya aku takut kalau anak-anak itu melupakan eksistensiku.

Walau mereka baru saja menyebutku dan Logan, aku tetap khawatir. "Robert," aku memanggil salah satunya.

Mendengar suaraku, bukan hanya Robert yang menoleh. Kelimanya memandangku.

"Anna?"

"Tidurlah, kalian semua." Aku tak tahu dari mana asumsi kalau ini sudah malam berasal. Yang berputar di otakku hanya cara menjauhkan mereka semua dari makhluk emas itu.

Gauvelaire Has PromisedDonde viven las historias. Descúbrelo ahora