[29] The Monster's Whispering

73 32 10
                                    

"Cinta adalah hal terakhir yang kuinginkan. Meski begitu, menghibur juga rasanya melihat orang-orang mencoba memberiku cinta dengan bodohnya."

⌞ B ⌝

SARAN Priam lumayan membantu. Memang agak sulit karena beberapa wanita keriput masih memandangiku dan memanggil. Untunglah aku cepat membaur ke kerumunan gadis-gadis dan anak-anak kecil. Tanpa cahaya matahari, aku bisa melihat Aurelian ada di pinggir jalan, bersinar terang seorang diri.

Ketika tanganku baru ingin melayang ke tubuhnya, dia langsung bicara. "Kau menemukan apa?"

Geram, aku hanya bisa membalas dengan kepalan tangan gusar dan helaan napas. "Aku baik. Terima kasih sudah bertanya."

"Ya, sama-sama. Jadi?"

Aku tak tahu dia mengonsumsi makanan Archna jenis apa sampai kurang ajarnya meningkat pesat. Sambil mengikutinya berjalan, aku melihat senyumannya samar-samar. Seperti dulu, dia gemar mengerjaiku, lalu berlagak menahan-nahan tawa supaya kepalaku semakin panas. Perlukah digetok dulu kepalanya dengan tongkat agar posisi akal sehatnya kembali benar?

Pemuda itu mengayunkan kakinya dan menatap lurus ke depan karena aku memutuskan bungkam saja. Aku tak tahu ke mana persisnya mata di balik kain itu mengarah, jadi simpulkan saja dia memang melihat ke depan. Aneh, orang-orang tidak terganggu dengan matanya yang tertutup kain, dan juga rambut keemasannya yang tetap berkilau walau langit mendung. Kalau aku jadi para vampir ini, mungkin aku sudah berada di belakangnya terus karena terhipnotis heran.

"Sihir apa yang kau pakai untuk menutupi keberadaanmu?" Aku bertanya.

"Oh, kau peka," kata Aurelian. "Sihir biasa."

"Biasa tapi kuat."

Dia hampir mendenguskan tawa. "Kota ini hanya penuh dengan anak-anak dan vampir berusia ratusan tahun minim bahaya. Jadi sihir kecil-kecilan sudah cukup bisa membangun tabir ilusi yang kuat di mata mereka."

"Minim bahaya?" Aku ingin meninjunya, lagi. "Aku dipelototi oleh banyak nenek-nenek vampir. Mereka memandangku aneh dan langsung memanggil seperti tentara menyetop penyusup."

Bahunya terangkat dan dia terus berjalan membelah kerumunan vampir-vampir muda tanpa bersusah payah. "Yang tua memang lebih peka, tapi mereka punya keterbatasan indera juga. Lebih baik dijadikan pusat perhatian daripada langsung disodorkan mata tombak."

Ada benarnya. Para nenek kurus dan kuyu hanya memperhatikanku. Setelah aku lewat atau ada sekumpulan bocah yang menjadi dinding dadakan di antara kami, mereka langsung mengalihkan atensi. Sempat ada yang ingin menghampiri lagi, tapi langsung kudekatkan diri dengan Aurelian, berlindung di depannya.

"Jadi, apa yang kau temukan?"

"Akan kukatakan setelah kita menemukan Zenya. Ayo, cari dia." Aku lebih mengkhawatirkan kesadaran vampir yang mengetahui keberadaan kami. Benakku merencanakan sebuah pelarian diam-dim setelah kami menemukan Zenya. Jujur, aku lebih ingin memastikan diriku sendiri selamat sebelum menggila demi Kolonel. Takkan ada gunanya tertangkap.

Namun, Aurelian menggeleng, nyengir sambil mengusap tengkuk. "Dia sudah keluar dari kota."

Apa?!

Brengsek kau! "Jadi untuk apa kita ada di sini?" Dan membiarkanku pergi sendiri?

Dia berhenti berjalan ketika merasakan aku tidak mengikutinya lagi. Aku kelepasan murka, hampir-hampir memancing perhatian dari anak-anak kalau permen merah yang dijual kedai tak lebih menarik.

"Kau sengaja menaruhku dalam situasi sulit? Kau ingin bermain-main sekarang?" Meskipun telah memelankan suara, dia pasti masih bisa mendengar kekesalanku. "Kalau mau bergerak dan mengobservasi sendiri, lakukanlah tanpaku dari awal."

Gauvelaire Has PromisedWhere stories live. Discover now