[17] Gliffard and Their Games

71 32 2
                                    

"Dia memiliki emas pada matanya. Konon menarik perhatian Selias Agung. Ketika kematian tragis menyambut, tangis Kaneta menyertai pemakamannya."

⌞ E ⌝

Matahari masih nampak, sudah condong ke barat tapi cukup untuk memberikan banyak cahaya pada lapangan yang kini sepi. Aku termasuk hal yang disinari olehnya, masih berdiri dengan kedua tangan di samping dan mata kepada lingkaran Meredith. Gadis itu belum menghapusnya, jadi kukira tak ada salahnya mencoba untuk menaikinya. Bahkan jika anak-anak itu mengamatiku diam-diam aku akan berusaha abai.

Langkah kaki ringan terdengar sebelum aku berada di atas lingkaran, membuatku berbalik. Yang jelas itu bukanlah Aurelian atau Kai. Anak malang yang dijaili tadi menatapku dari bawah sampai atas. Ia mendekat walau sedikit lambat begitu mata kami bertemu. Wajahnya berusaha netral dan dia pasti berharap rona merah di sana hilang. Namun, dia gagal meneguhkan hati begitu membuka mulut.

"Kamu!" Aku tak terkejut ketika dia malah membentakku sambil mengacungkan jari. "Untuk apa manusia ada di tempat ini? Kau cuma beban, kecil, lemah, tidak tahu apa-apa, dan ... dan manja. Kau seharusnya mendekam saja di rumah besarmu yang nyaman dan hangat. Me-menyusahkan!"

Rumah besar dan hangat. Seharusnya dia tahu kalau rumah Gauvelaire itu sedingin ruang bawah tanah.

"Aku juga pernah marah-marah pada kakakku," aku berkata padanya. "Dia melakukan hal yang tidak kusenangi agar aku bisa maju dan melakukan hal lain yang lebih dari itu."

Wajah Luca semakin merah, semakin melemah untuk tunduk pada malu dan tangis. Aku menghampirinya dengan sapu tangan bekas bungkusan bekal Maria. Kain itu menyapu wajahnya hingga semua air yang tersisa di sana menghilang. Merah masih menghiasi wajahnya, tetapi itu cukup untuk meringankan kesedihan.

"Mereka keterlaluan. Aku tidak akan menyangkal," kataku lagi.

"Tapi manusia sepertimu adalah salah satu yang beruntung. Kudengar mereka adalah penyelamatmu. Kenapa sikapmu seperti itu?" ucap Luca.

Satu-satunya sisi beruntung yang kudapatkan adalah teman-temanku aman, sisanya super buruk. "Balas budi. Aku kemari hanya karena pertukaran semata. Mereka menyelamatkan keluargaku dan aku mengikuti mereka. Nah―" Aku berbalik dan kembali pada area― "Aku ingin mencoba ini sekali lagi, bahkan berkali-kali sampai aku ada di atasnya. Mau ikut?"

Kedua tangannya saling menggenggam. Manik hijaunya jatuh kepada sepasang sepatu cokelat lusuh yang membalut kaki-kaki mungil cowok itu. "Kau manusia. Bukankah kau seharusnya tidak bisa menyentuh apa pun yang berbau magis?"

"Memang." Aku menyunggingkan senyum. "Hanya muntah bukan masalah."

Lelucon itu sempat mengentikan isaknya. Setelah bertatapan cukup lama, kami memutuskan untuk duduk dan saling berbicara. Lebih tepatnya Luca yang menginginkan itu. Dia bilang, rasanya aneh kalau berbicara sambil berdiri. Menjelaskan hal-hal yang tidak kuketahui mungkin saja membuat energinya terkuras saat berdiri. Kami mengambil tempat yang tak jauh-jauh dari lingkaran gravitasi milik Meredith.

Luca melirikku ragu-ragu. "Kau keren karena tidak takut pada kami."

Aku tersenyum tanpa memandangnya. "Sebelum para Frey, ayah asuhku, Kolonel Cassius, mengenalkan kalian dengan nama Anak-anak Tersesat di sebuah pulau bahagia."

Dia mengerjap seakan itu hal luar biasa. "Kolonel yang baik hati," dia memuji. "Dia tidak menyebut nama Gliffard?"

"Tidak. Aku baru tahu tentang itu saat Aurelian menjelaskan."

Luca mendesah, matanya berkaca-kaca. "Benar-benar baik. Kau tahu? Gliffard adalah nama asli dari anak-anak yang menghuni Pulau. Kalau kata orang-orang di tempatku dulu arti nama itu adalah tercela, tercemar, dan aneh. Kami ditendang keluar diiringi huru-hara yang menyerukan nama itu, lalu berseru mengejek, menyumpah agar kami mati saja." Dia semakin menundukkan kepala dan memainkan jari-jarinya. "Padahal mereka sama sekali tidak berani mendekati kami, bahkan hanya pada para Pendengar."

Gauvelaire Has PromisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang