Part 12

16.1K 1.1K 5
                                    

Setelah selesai mandi bersama Gio dan memakai sepasang pakaian yang diberikan Ify untuknya, Rio keluar dari kamar Gio sambil menggendong bocah itu tentu saja.

"Ayah kita ke dapur aja pasti bunda lagi di sana."

Gio menunjukkan arah dapurnya pada Rio yang memang tidak tahu dimana letaknya.

"Kita ke sana?"

Gio mengangguk mantap. Rio mengikuti kemauan Gio untuk pergi ke dapur.

Sementara Ify yang sudah selesai membuat berbagai macam masakan untuk disantap bersama Gio juga Rio kini duduk dengan santai di kursi meja makan sambil memakan beberapa buah yang sudah ia pisahkan dari kulitnya.

Bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat Rio yang menggendong Gio memasuki dapurnya. Pria itu tampak sangat tampan memakai baju kaos dan celana denim selutut yang tadi ia beli. Ify tidak bohong jika sekarang Rio bertambah kadar ketampanannya.

"Kenapa mandinya lama banget sayang?"

Tanya Ify pada Gio yang sudah duduk di salah satu kursi sementara Rio berdiri di samping putra mereka itu.

"Gimana gak lama. Anak ayah sama bunda ini main air aja tadi."

Rio yang menjawab pertanyaan Ify.

"Bun. Gio lapal kita makan yuk."

Ify terkekeh pelan. Tangannya mengusap rambut Gio.

"Oke kita makan dulu kalau gitu. Ayah makan juga ya."

Rio langsung menatap Ify dengan wajah penuh senyuman. Ify menyebut dirinya ayah, itu saja sudah membuat hatinya luar biasa senangnya.

Ify sengaja menyebutkan ayah untuk Rio di depan Gio. Tidak mungkin ia memanggil Rio tanpa embel embel di di hadapan Gio.
Rio pun duduk di samping Gio dan mereka mulai menikmati sajian yang dibuat oleh Ify.

Setelah selesai makan Rio menemani Gio bermain lagi atas permintaan anaknya itu dan dengan senang hati Rio menuruti kemauan putranya itu.
Ify tadi izin kekamarnya untuk ganti baju. Karena sudah malam jadi Shilla memutuskan untuk mengganti bajunya dengan gaun tidur.

Ify keluar dari kamarnya. Langkah kakinya membawa Ify kearah kamar Gio. Sudah pukul delapan malam biasanya putranya itu sudah terlelap. Saat ia membuka pintu kamar, hatinya teriris pedih bercampur haru melihat Gio terlelap dalam dekapan Rio. Keduanya tertidur pulas.

"Ya tuhan, ini yang sangat diinginkan oleh putraku, tidur bersama ayahnya."

Batin Ify berucap.
Menghapus air mata yang sempat terjatuh. Ify menghampiri tempat tidur Gio dan duduk di samping putranya. Tangannya mengelus rambut Gio, memberi kecupan di kening bocah pintar itu.
Lalu matanya beralih pada Rio yang sama lelapnya dengan Gio.

Pria itu terlihat tampan meski sedang tidur sekalipun. Di luar hujan jadi tidak mungkin Ify membangunkan Rio dan menyuruhnya pulang. Biarkan saja ia tidur bersama Gio malam ini. Ify pun kembali ke kamarnya.

***

"Mama kenapa sih ngebet banget nyuruh aku nikah sama Laura padahal Laura masih kuliah loh Ma."

Ray duduk di samping Ratih yang sedang membaca majalah. Sontak saja Ratih menutup majalahnya mendengar ucapan Ray. Ia letakkan majalah itu diatas meja.

"Ray. Kamu udah umur berapa? Udah saat buat nikah lagian mama juga udah pengen punya cucu."

Ratih berujar dengan lirih diakhir kiamatnya.

"Kan ada Rio. Mama bisa dapat cucu dari Rio kan?"

Ratih menghela nafas.

"Rio katanya gak mau kenal sama perempuan lain. Selain Ify, istrinya yang dulu dengan tega ninggalin dia demi lelaki lain."

Ray terdiam sejenak memikirkan kalimat apa yang kiranya pas untuk ia lontarkan pada Ratih. Ray sudah berjanji pada Rio untuk mengurus tentang Ratih.

"Masa iya sih ma Ify ninggalin Rio dengan alasan ingin bersama lelaki lain? Waktu dia pergi dulu dia pamit sama mama? berarti mama tau dong siapa lelaki itu?"

Ray memandang serius pada Ratih yang kini masang wajah gugupnya.

"Ya mama gak lihat lelaki itu karena ... ah lelaki itu di dalam mobil. Iya di dalam mobil."

Dari cara bicaranya saja Ray sudah bisa memastikan jika saat ini Ratih tengah berbohong. Ratih sendiri meremas jarinya yang saling menggenggam.

"Mama gak bohong kan tentang kepergian Ify itu?"

"Bohong apa sih Ray. Mama itu bicara yang sebenarnya."

Ray menggeleng.

"Tapi dari yang aku lihat mama kayak lagi bohong. Gak ada yang mama sembunyikan dari kita semua kan ma? Karena beberapa hari yang lalu aku sempat ketemu Ify."

Ratih langsung manatap Ray dengan terkejut.

"Terus Ify ada bilang apa? dia gak bilang sesuatu kan sama kamu?"

"Sesuatu?"

Ray terus memancing Ratih meski mamanya bukan ikan.

"Eh, maksudnya dia gak ada menyinggung tentang kepergianLnya dulu kan?"

Ray mengangguk.

"Ify gak ada bilang apa-apa mengenai kepergiannya tapi-"

Ratih menunggu Ray melanjutkan kata-kata dengan wajah pias.

"Tapi Ify bilang kalau dia punya anak dari Rio."

Mata Ratih langsung membola. Kagetnya bukan main.

"Gimana bisa?"

Suaranya melemah.

"Karena waktu dia pergi dari rumah dia dalam keadaan mengandung empat minggu."

Ratih terdiam.

"Ma. Mama udah punya cucu yang sangat tampan dari wanita baik hati yaitu Ify. Jadi coba mama berdamai dengan hati mama untuk menghilangkan semua dendam mama terhadap Ify atas meninggalnya papa."

"Dan harusnya mama tau semua yang mama lakuin itu sangat beresiko bagi tumbuh kembangnya cucu mama."

Ratih bangun dari duduknya, wajahnya menghadap Ray.

"Apa maksud kamu!"

Suaranya lantang tapi Ray balas senyum simpul.

"Aku dan Rio sudah tau semua ma mengenai sebab perginya Ify dari kehidupan Rio beberapa tahun ini."

"Apa yang kalian ketahui?"

Tantangnya penuh amarah pada Ray.

"Tentang cara mama membalas dendam pada Ify dengan cara mengancam nyawa Keke dan menyuruh Ify untuk pergi dari kehidupan Rio sebagai gantinya."

"Dan mama tau akibat dari perbuatan mama itu bukan cuma Ify yang merasakan sakit karena kehilangan seperti yang mama rasakan tapi juga Rio karena Rio juga sangat mencintai Ify."

Ratih tersenyum remeh pada Ray.

"Jadi kamu mau menyalahkan mama? kamu tau kan Ify adalah penyebab papa kalian meninggal dan mama gak ikhlas."

"Papa meninggal itu takdir ma. Bukan karena Ify."

Ray masih mengikuti jejak perkataan Ratih.

"Kamu mau ajarin mama? sudah merasa jadi orang pandai?"

Ratih menatap sengit pada putranya itu. Nafasnya memburu tidak terima disalahkan begitu saja oleh Ray.

"Ma ini bukan persoalan pandai atau bodohnya aku tapi tentang benar tidaknya tindakan mama. Mama jangan egois dong."

Plakk

Satu tamparan berhasil Ratih layangkan dipipi Ray.

"Berani kami bicara seperti itu pada mama. Hanya karena perempuan tidak berguna seperti Ify?"

"Ify menantu mama!"

Tanpa sadar suara Ray naik oktaf karena ia juga menahan emosi.

"Mama tidak pernah menginginkan dia yang menjadi menantu mama dan akan selalu seperti itu."

Masih Ada Cinta (Tamat)Where stories live. Discover now