Part 6

22K 1.5K 6
                                    


Seorang ibu muda berjalan dengan menggandeng tangan anak kecil yang memegang mobil mainan di tangan kirinya.

Mereka ada di sebuah kafe untuk makan siang. Setelah mendudukkan putranya di kursi, ia juga duduk di kursi sebelah sang putra. Tidak lama seorang pelayan wanita menghampiri mereka. Biasanya menanyakan pesanan.

"Hai Buk Ify. Aduh tumben ini si ganteng ikut ke kantor, Buk?"

Pelayan yang memang sudah sangat kenal dengan Ify itu langsung menyapanya. Ify memang selalu makan siang di sini selain dekat dari kantor, sajiannya juga cocok dengan lidah Ify.

"Iya. Di rumah lagi gak ada orang jadi saya bawa aja."

"Oh iya. Mau pesan apa Buk."

" Yang biasa aja ya. Yang satu porsinya sedikit aja. terus minumnya teh manis."

"Baik. Di tunggu ya, Buk."

Ifu mengangguk sambil tersenyum.

"Bunda, lambut Gio jangan di pegang gitu nanti kusut telus gak danteng lagi."

Gio memegang tangan bundanya yang masih bertengker di kepalanya. Ify terkekeh mendengar celotehan Gio. Ada-ada saja anaknya ini.

"Gak dong. Tetap ganteng kok. Mau diapain aja Gio itu tetap ganteng."

Katanya. Gio langsung menatapnya.

"Benelan Bunda?"

Mata bulat anak itu membola padanya dengan  lucu seolah menuntut jawaban dari sang bunda.

"Beneran dong. Tadi aja Tantenya bilang kalau Gio ganteng, kan?"

Bocah itu mengangguk. Dengan gemas Ify mencium pipi gembul Gio.

"Kayak ayah kan Bunda."

Ify mengangguk semangat.

"Iya kayak ayah."

"Gio milip ayah ya, Bunda? kalau iya belalti yang di foto itu benelan ayahnya Gio."

Ify mengerutkan keningnya, matanya menyipit pada Gio. Foto apa? lama berfikir kemudian ia teringat jika ia kehilangan foto dan sudah mencarinya di seluruh penjuru kamar tapi nihil tidak ia temukan. Dan ternyata foto itu ada di Gio. Tapi kapan anaknya itu mengambil foto itu karena setahu Ify Gio jarang masuk ke dalam kamarnya.

"Foto? Gio ambil foto dari kamar Bunda ya?"

Gio menutup mulutnya dengan tangannya yang mungil. Ia menggerakkan bola matanya ke kanan-kiri seolah tengah berfikir.

"Kan keceplosan. Kalau Bunda malah (marah) gimana ini."

Batinnya.

"Itu ... Bunda e ..."

Bocah itu tampak gugup melihat tatapan menyelidik dari bundanya.

"Itu apa? Gio kapan masuk kamar bunda tanpa sepengetahuan bunda, Nak?"

Tanyanya. Ify tidak marah ia hanya tidak ingin anaknya tidak disiplin terhadap apapun itu.

"Gio-"

"Gio masuk kamal Bunda pas ambil mainan yang tinggal di laci. Telus Gio lihat ada foto bunda sama orang yang mirip Gio. Gio pikil itu ayah makanya Gio ambil fotonya."

"Terus gak bilang sama Bunda?"

"Gio takut Bunda nangis kalau Gio tanya soal ayah. Makanya Gio gak bilang Bun."

Bocah itu menunduk takut. Ify sampai menitikkan air mata mendengar penjelasan putranya. Tidak menyangka Gio bisa berfikir sedewasa ini dalam menanggapi hatinya.

Gio takut Ify menangis jika bertanya tentang ayahnya padahal dalam hati bocah itu sangat ingin tahu tentang ayahnya yang memang selama ini Ify sembunyikan dari Gio.
Ify menghapus air matanya. Anaknya masih menunduk.

"Maafin Bunda ya, sayang."

Batin Ify terasa menyesakkan sekarang.

"Gio jangan nunduk dong. Bunda gak marah kok sayang. Bunda cuma heran aja kenapa nggak ada fotonya di laci bunda. Anak bunda coba senyum lagi sayang."

Gio mendongak pada Ify dengan wajah polosnya. Dengan gemas Ify mencium puncak kepala Gio.

"Permisi mbak Ify. Ini pesanannya ya."

Pelayan tadi datang lagi dengan membawa nampan berisi makanan pesanannya bersama Gio. Pelayan itu pergi setelah menata semuanya di atas meja.

"Nah ini makanannya udah siap. Kita makan dulu ya. Bunda janji nanti pas sampe di rumah bunda akan cerita tentang ayah Gio."

"Bunda gak bohong kan? Tapi kalau nanti Bunda sedih gimana?"

Gio memang anak pintar. Di usia yang masih tiga tahun anak itu bahkan sudah mengerti perasaan orang lain.

"Bunda udah siap cerita itu artinya Bunda udah gak sedih lagi."

"Jadi foto itu benelan ayahnya Gio bun?"

Ify mendesah dulu sebelum mengangguk. Ia tidak mungkin membohongi anaknya. Mungkin sudah saatnya Gio tahu tentang Rio. Hanya  sekedar mengetahui Ify rasa tidak salahnya untuk menjelaskan tentang Rio pada Gio.

"Iya itu ayah Gio. Ganteng kayak Gio. Sekarang makan dulu ya sayang bunda laper banget loh."

"Gio juga lapel bunda. Cacing di pelutnya udah pada plotes ini.".

Ify terbahak. Lucu sekaligus gemas pada putranya ini. Mereka makan sambil sesekali Gio berceloteh kadang membuat Ify tertawa dengan renyah. Setelah selesai makan dan membayarnya mereka kembali ke kantor Ify karena memang masih banyak urusan.

Ify menyipitkan matanya melihat seorang lelaki sedang memasukkan beberapa barang ke dalam bagasi mobilnya. Pria itu sempat melihatnya namun mengapa dia hanya diam.

Kebetulan mobil Ify parkir di samping mobil pria itu jadi Ify harus melewati pria itu dengan menggandeng tangan Gio. Gio yang melihat pria itu juga terus menatapnya lalu tanpa bisa di cegah Gio melepaskan tangannya dari tangan Ify dan berlari memeluk paha pria yang telah menutup bagasi mobilnya itu.

"Ayah hiks. Ayah kemana aja, Gio kangen Ayah."

Gio terus menangis sambil sambil memeluk paha pria yang ia panggil ayah itu. Ify hanya diam mematung di tempatnya menyaksikan dua orang  yang sangat mirip itu. Air matanya mengalir di pipi. Ia tidak berhak untuk mencegah Gio bertemu Rio apalagi ini secara kebetulan. Mungkin ini salah satu cara tuhan untuk mempertemukan mereka.

Namun matanya membola saat mendengar apa yang dikatakan pria itu pada Gio.

"Dek. Kamu salah orang ya?"

Gio tampak menggeleng.

"Enggak Gio gak salah olang. Muka ayah kan milip Gio."

Pria itu mengerutkan dahinya. Matanya menelusuri anak kecil yang tengah menangis ini. Ia memperhatikan dengan jeli memang wajah bocah ini sangat mirip dengannya hanya saja anak ini berkulit lebih putih darinya.

Ia berjongkok menyamakan tinggi dengan bocah itu. Matanya terus memperhatikan wajah mengemaskan di depannya.

Awalnya ia mengira bocah ini
mungkin anak jalanan yang sengaja mengaku jadi anak pada orang orang kaya. Namun, melihat pakaian dan tubuh anak ini yang terurus jelas sekali ia bukan anak jalanan.

"Panggilnya Om aja ya."

Ucapnya yang membuat anak itu menggeleng beberapa kali.

"Kenapa Gio harus panggil om sama ayah Gio sendili?"

Pria itu tersenyum.

"Karena Om bukan ayah kamu."

Ucapnya yang membuat sebuah telapak tangan menempel di pipinya dengan cepat. Ia meringis mendapati rasa panas di pipi kirinya. Kemudian ia Ia melihat seorang wanita cantik yang melakukan tamparan padanya. Air mata Wanita itu membasahi pipinya.

"Rio."



Masih Ada Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang