Part 5

24K 1.5K 16
                                    


Ify menggeleng kepalanya berulang kali saat sepasang manusia itu semakin mendekat padanya. Dari jarak yang lumayan dekat Ify semakin merasa familiar pada pria itu, bukan hanya wajahnya tapi juga perawakannya.

Ia melihat pria itu merogoh saku celananya dan mengambil sesuatu dari sana yang ternyata sebuah handphone dan seperti berbisik pada Laura lalu masuk lagi ke mobilnya.
Laura mendekatinya seorang diri.

"Sorry ya Mbak jadi nunggu lama."

"Nggak kok, gak papa. Emm... tunangan Mbak gak jadi ke sini?"

Laura menggeleng pelan.

"Tadinya sih mau ke sini tapi ada telpon penting. Gak jadi deh."

"Oh. Yaudah kan tunangannya Mbak udah datang, saya pergi ya Mbak. Keke sama Gio udah nunggu soalnya."

"Iya Mbak silahkan. Btw makasih banyak ya Mbak udah mau temenin saya. Saya bisa minta nomor hp mbak gak buat saya simpan siapa tau aja bisa jadi temen kan Mbak."

Ify mengangguk dan mengambil hp yang disodorkan oleh Laura. Mengetik angka yang merupakan nomor hpnya di handphone wanita itu.

"Makasih Mbak. Mbak Ify hati-hati ya di jalannya."

"Iya Mbak. permisi."

Ify memasuki mobilnya dengan perasaan campur aduk setelah melihat siapa tunangan Laura. Ada rasa tidak ikhlas di hatinya. Pantas saja tadi Laura bilang Gio mirip seseorang ternyata benar.

Sosok tunangan Laura yang Ify lihat tadi adalah Rio. Dan Rio adalah ayah dari Gio, wajah mereka hampir sama.

"Kak Ify yang cantik jelita ngapain bengong, kita udah laper ini kak."

Ify terlonjak kaget mendengar suara cempreng Keke yang menyuarakan protes. Ia hembuskan nafasnya dan mulai menghidupkan mobil, melajukan mobil itu untuk ketempat yang mereka tuju.

"Gio udah lama tidurnya Ke?"

Ify melihat Gio yang sudah pulas di pangkuan Keke.

"Udah dari tadi kak. Katanya nanti suruh bangunin sama Bunda."

Keke berujar sambil memainkan handphonenya. Ify menghentikan mobilnya di salah satu rumah makan yang biasa mereka singgahi.

Seusai dengan mengisi perut dan mengelilingi area pasar malam sesuai permintaan Gio tadi mereka bertiga pun pulang dan langsung istirahat di kamar masing-masing. Begitu pun dengan Ify, ibu satu anak itu sudah Berada di kamarnya, duduk di atas tempat tidur dengan tangannya memegang sebuah cincin pernikahannya dulu.

Air matanya jatuh saat ia teringat masa bahagianya bersama Rio. Hampir saja Ify menyalahkan dirinya karena tidak langsung menjelaskan pada Rio mengenai dirinya dan Gio ternyata ia lebih dulu tau tentang pria itu yang ternyata sudah memiliki tunangan.

Mengapa takdir seolah mempermainkannya, kejadian tadi seperti sebuah judul sinetron bagi Ify. "Aku Menemani Tunangan Suamiku". Ya mungkin begitulah kiranya kalimat yang pas untuk pertemuannya dengan Laura. Tidak bisa Ify bayangkan jika tadi ia bertemu dan bersitatap dengan Rio, sikap seperti apa yang akan ia tunjukannya pada pria itu.

"Aku akan lupain kamu Yo, enggak akan aku ganggu kebahagiaan kamu. Ternyata ucapan kamu kemarin hanyalah angin semata, angin tidak meninggalkan bekas setelah ia berhembus."

"Kamu bohong tentang ucapan kamu yang bilang kalau cuma sama aku kamu bahagianya. Buktinya kamu terlihat bahagia sama Laura."

Ify menumpahkan semua tangisnya di malam ini dalam kamarnya. Mengembalikan lagi cincin yang tadi ia ambil ke dalam kotaknya. Rasa kantuk itu datang membuat Ify membaringkan tubuhnya tak lupa menarik selimut untuk di kenakan. Beberapa menit ia berhasil meraungi alam mimpi.

***

"kamu ke sini aja kok bisa lupa jalannya sih. padahal baru dua bulan lho kamu gak kesini."

Rio ngomel pada seorang perempuan berambut panjang yang duduk dengan cemberut di sofa panjangnya.

"Ya namanya juga takut Kak. orang tadi aja aku lihat udah malem terus jalanan sepi lagi."

Jawabnya enteng. Sambil terus memakan keripik kentang dari toples yang memang sengaja disediakan.

"Makanya kalo mau ke sini tuh pagi kalo gak siang biar tahu jalan terus gak ketakutan juga. Habis ini langsung istirahat jangan nonton korea mulu."

Rio melepaskan jaketnya dan masuk kekamar untuk istirahat. Meninggalkan gadis yang tadi ia ceramahi sendirian di sofa ruangan tamu.

"Lah kan dia sendiri yang bilang kalau pagi dan siang sibuk. Aneh banget. Untung cinta sama adiknya."

Gadis itu membuka laptopnya dan menaruhnya di atas kedua paha. Ia terbiasa menonton serial korea saat ada waktu senggang. Belum filmnya berputar, Gadis itu kembali berfikir.

"Eh tapi kok aku gak lihat Tante Ratih ya. Tanya kak Rio dulu deh."

Menaruh kembali laptopnya di atas meja. Dia melangkahkan kakinya menaiki tangga. Kini ia berdiri di depan sebuah kamar dengan pintu bercat cokelat. Tanpa mengetuk dulu ia langsung masuk seenaknya saja.

Ia mendatangi kamar Ray. Tunangannya, bukan Rio.

"Ray."

Gadis itu mendekati Ray yang tengkurap tapi dengan tangan masih memainkan handphonenya.

"Apa sih."

"kok rumah sepi sih? Tante Ratih kemana?"

Gadis itu duduk di kursi samping tempat tidur Rio. Sementara Rafa menatap sepupunya itu.

"Ya di rumahlah. Ini rumah Kak Rio bukan rumah Mama. Kak Rio kadang suka di sini atau ke sana sekali-kali kalo kangen."

Jelasnya.

"Wah yang serius kalo ini rumah Kak Rio?"

"Udah jadi orang kaya dong."

Ray mengangkat alisnya.

"Kamu lupa? Kak Rio emang udah kaya dari dulu."

Bukannya sombong tapi Ray berbicara pada kenyataannya kok. ada peribahasa berkata kalau sifat yang baik itu adalah berbicara penuh wibawa di hadapan mereka yang kaya dan berbicara merendah di hadapan mereka yang miskin.
Dan Ray sekarang sedang berbicara di hadapan kekasihnya yang merupakan anak orang kaya raya.

"Kenapa Kak Rio gak beli rumah buat Tante Ratih aja kan bisa bisa tinggal di sana."

"Ini awalnya sih Kak Rio beli buat mama tapi karena mama gak mau katanya dia mau tinggal di rumah saat masih ada papa. Jadilah ini buat Kak Rio lagi dan aku numpang."

Ray melihat jam dindingnya.

"Udah sana kamu tidur, terserah mau di kamar mana aja. Aku juga udah ngantuk besok lanjutan kerja."

Padahal mereka baru bertemu tadi.



Masih Ada Cinta (Tamat)Where stories live. Discover now