19.

29.2K 2.1K 93
                                    

McDonalds yang letaknya dekat gedung Hood and Hood Consultant adalah tujuan Maia sepulang lembur kerjanya hari ini. Kondisi Maia memang belum terlalu pulih sejak kejadian di Seattle, tapi apa daya, demi kepercayaan Madison, Maia masuk kantor dan kerja overtime sesuai kesepakatan sebelumnya.

Setelah memesan big mac dan french fries serta lemonade, Maia duduk di kursi dekat jendela. Sydney di jam tujuh malam masih terlihat ramai. Sambil mengunyah burgernya, pandangan Maia tertuju pada seorang pria muda yang menggendong putri kecilnya di seberang jalan. Pria itu masih mengenakan setelan kantor sementara si anak kecil dalam gendongannya, yang ditafsir berusia 2 tahunan, tertidur dengan posisi kepala di pundak kanan sang ayah. Tak lama kemudian, mereka berdua masuk ke dalam mobil.

Maia terenyuh atas pemandangan yang ia lihat barusan. Sejak kecil, Maia tidak pernah merasakan romantisme ayah dan anak perempuan seperti yang banyak buku dan film ceritakan. Ayahnya pergi entah kemana. Dan mungkin, anaknya kelak akan merasakan hal yang sama. Mengingat sang ayah dari janin di kandungannya sekarang adalah orang yang kurang ajar.

Tak terasa, air mata Maia kembali keluar secara otomatis. Dengan cepat, Maia menghapusnya dengan tissue di depannya.

"Boleh duduk disini?" Suara yang familiar di telinga Maia mengagetkan Maia dari lamunannya.

"Calum?" Orang yang dimaksud pun tersenyum. Lalu meletakkan nampannya diatas meja dan duduk di hadapan Maia. "Apa kau seorang stalker? Kita sering sekali bertemu." Ucap Maia sambil tertawa kecil.

"Maia, aku tinggal di dekat sini.." Calum menunjuk sebuah gedung apartemen mewah yang letaknya memang tidak jauh dari situ.

"Lho bukannya rumah Nyonya Catharina di selatan Sydney?"

"Rumah keluargaku memang disana. Tapi aku lebih sering tinggal di apartemen pribadiku." Jawabnya seraya menggigit paha ayam crispy. Maia cuma mengangguk mengerti. Terjadi keheningan beberapa saat diantara mereka karena mereka berdua terlalu asyik menghabiskan makanan mereka masing-masing. "Kudengar kau cuti kemarin.."

"Iya, Calum."

"Jadi, apakabar tunanganmu?"

Maia menghela napas sejenak. "Baik."

Calum kembali mengunyah makanannya sambil matanya melihat sekeliling. Tak sengaja pandangan Calum tertuju pada pipi kanan Maia saat Maia sedang menyeruput minumannya. "Ada apa dengan pipimu, Maia?"

"Eh?" Maia langsung memegang pipi kanannya yang lebam membiru karena tamparan Zayn. Sebenarnya rekan kantornya menanyakan hal yang sama sepanjang hari ini, dan Maia menjawabnya dengan variasi kebohongan.

"Maia?"

"Eh.. Uhm. Ini bukan apa-apa, Calum."

Calum menyimpan potongan paha ayam yang tadi sedang dia nikmati ke atas piring, lalu mengelap tangannya dengan tissue. Selanjutnya dia menyentuh pipi kebiruan Maia dengan hati-hati. "Someone slapped you, right?"

Maia langsung menepis tangan Calum dan berdiri. "Bukan urusanmu, Calum. Permisi." Maia pun keluar dari meja dan beranjak pergi.

Calum tidak menyerah, dia mengikuti langkah Maia yang berjalan dengan sekuat tenaga. "Maia!" Calum pun berhasil meraih pergelangan tangan Maia yang membuat Maia terdiam. "I am so sorry. Biarkan kuantar kau pulang sebagai tanda menyesal, ya?" Maia mengangguk dengan ragu-ragu.

Sepanjang perjalanan menuju flat Maia, kedua orang di mobil tersebut tidak berbicara satu sama lain. Calum fokus pada setir mobilnya sambil berpikir ada apa dengan wanita di sebelahnya. Beberapa saat kemudian, mobil biru metalik Calum sudah sampai di depan flat Maia.

"Sekali lagi maafkan aku, Maia. Aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu tapi.." Calum menghela napasnya. "Jika orang yang menyakitimu itu adalah tunanganmu, jangan segan kau laporkan ini, Maia. Kekerasan dalam hubungan itu tindakan kriminal.."

Maia masih terdiam. Dia terngiang ucapan 'tindakan kriminal' yang Calum katakan barusan. "Calum.."

"Ya?"

"Apa aku bisa percaya padamu?" Entah hasrat apa yang membuat Maia ingin bercerita tentang masalah hidupnya pada pria yang bahkan baru ia kenal ini.

"Aku pendengar yang baik, Maia.."

Maia melepas seatbeltnya dan menyandarkan tubuhnya di jok penumpang mobil Calum, Calum pun demikian. "Aku yakin kau akan menganggapku gila atau apapun setelah mendengar cerita ini, Cal. Tapi sumpah, aku tidak mengada-ada.."

"Kau belum cerita apapun dan langsung menilaiku akan menertawaimu? Come on, Maia. Aku tidak buruk kok.."

"Baiklah.." Maka Maia mulai bercerita tentang segala hal yang terjadi pada dirinya. Mulai dari menonton konser, pergi ke Purple Rain Hotel, dipaksa tidur bersama Zayn, mendapati dirinya hamil.. Dan segala petualangannya menemui Zayn bersama Brianna. Ternyata Calum benar-benar mendengarkan, walaupun sudah pasti dia shock mengetahui bahwa Maia hamil anak Zayn, yang juga idola Candy, adiknya.

"That's crazy, Maia. Kau harusnya melaporkan Zayn pada pihak berwajib. Damn. Aku bukan pahlawan tapi aku dengan sukarela menghajar Zayn jika aku bertemu dengannya, Maia." Komentar Calum geram saat Maia selesai bercerita.

"Aku pun tidak yakin masa depan anakku, Cal.. Tapi.. Menjadi single parent bukan hal buruk, kan?"

Calum tersenyum mendengar pertanyaan Maia. "Aku selalu mendoakan yang baik untukmu.." Calum dengan spontan mengusap lengan kiri Maia yang membuat Maia tersenyum juga.

"Thanks for listening, Cal." Calum mengangguk pasti. "Aku masuk dulu ya?"

"Boleh kuantar?" Tanpa menunggu jawaban Maia, Calum membuka pintu mobilnya dan membukakan juga pintu mobilnya untuk Maia. Mereka jalan berdampingan menuju lantai 3, letak kamar flat Maia.

"Sekali lagi terimakasih, Calum.." Ucap Maia saat tiba di depan pintu flat nya.

"You're welcome, Maia." Calum lalu mengusap perut Maia yang membesar di usia 4 bulan kehamilannya. "Kau yang kuat ya, little Maia.."

Sentuhan Calum pada perut Maia membuat Maia tersenyum lebih dalam. Entah mengapa, Maia suka diperlakukan seperti ini, walaupun Calum termasuk orang baru dalam hidupnya. Kali ini Maia mengeluarkan air mata terharu karena ternyata masih banyak orang yang peduli pada dirinya.

"Calum thank you so much.."

Calum menatap Maia. "Jangan menangis.."

"Aku.. Aku hanya terharu.."

Calum tanpa ragu merengkuh tubuh Maia dalam pelukannya. "Jangan ragu menghubungiku kapanpun kau butuh, Maia." Lalu Calum mengecup puncak kepala Maia.

"Maia?" Tiba-tiba suara seseorang mengagetkan Maia dan Calum yang masih berpelukan itu. Mereka berdua pun melepaskan diri masing-masing dan menoleh ke sumber suara.

"Brianna?" Brianna pun melangkah maju menghampiri Maia dan Calum. "Who the fuck are you?" Tanya Brianna dengan kesal kepada Calum.

"Kau pasti Brianna. Hai, aku Calum.." Calum menawarkan tangannya namun ditepis oleh Brianna.

"Pergi!" Usir Brianna.

"Brianna! Ada apa denganmu?" Tanya Maia pada sahabatnya.

"It's okay, Maia. Aku pergi. Goodnight." Calum pun melambaikan tangannya dan pergi.

Maia yang tidak suka akan kelakuan sahabatnya lalu membuka pintu dan masuk ke dalam flat. "Wait, Maia!" Teriak Brianna saat Maia akan menutup pintunya.

"Apalagi, Bri? Kau keterlaluan!"

"Siapa yang keterlaluan? Aku yakin kau baru mengenal dia dan dia sudah berani memelukmu? Kau tidak belajar dari pengalaman, Maia?"

"Kau tidak tahu apapun, Brianna! Get out! I don't wanna see you!" Maia pun menutup pintunya kasar.

Brianna menggedor-gedor pintu flat Maia tanpa menyerah. "Maia! Aku hanya tidak mau kau kenapa-napa for fuck's sake!"

"Pergi, Brianna!"

"Okay! Aku pergi, Maia! Maafkan aku.."

WORDS ✖️ ZAYN MALIKWhere stories live. Discover now