19 | Adhipati

1.3K 253 26
                                    

19 | Adhipati
Raja Adipati



***



Malang, 20 Juni 2020

Setelah menyampaikan unek-uneknya kepada Putri dan Putra, Sri mendapat pesan dari adik yang merangkap sebagai sahabatnya. Kata Putri, sang yuwaraja tertawa terbahak-bahak ketika tahu pemikiran gadis yang kini terbengong-bengong itu. Sri langsung mengiakan begitu Putri meminta untuk berbincang via telepon karena katanya, gadis dari Jakarta itu hendak mewawancarai Putra secara langsung untuk menjelaskan maksud tawanya.

"Halo?" sapa Putri.

"Halo," jawab Sri lirih. Gadis itu masih sibuk merenungi apa yang terjadi, juga merasa syok hingga tak mampu mengeluarkan banyak kata seperti kebiasaannya. Dewa sendiri merasa aneh ketika melihat Sri yang biasanya cerewet, mendadak jadi pendiam seperti ini.

"Ih, suara kamu gemoy, Mbak. Lembut terus ada medhok-medhok-nya gitu."

"Hahaha." Sri memaksakan tawa. "Maaf, ya, medhok ini sudah jadi identitasku. Suaramu sendiri khas orang Jakarta, seperti para penyiar radio."

"Jangan kaget, ya. Aku ini penyiar radio lho di sekolah." Sri tak menanggapi secara langsung, hanya berdecak kagum dalam hati. Ia memang cenderung tidak bisa memuji orang secara terang-terangan, tetapi ia akan selalu membangga-banggakan prestasi teman-temannya di depan orang lain. Seperti ia membanggakan pencapaian Dipuy dan posisinya sebagai wakil ketua OSIS yang sebentar lagi lengser, begitu pula dengan Dara. Gadis itu sangat bangga dengan Putri dan segala pencapaiannya. Ia ingin mengucapkan selamat dan memujinya secara langsung kelak ketika bertemu. Untuk saat ini, ia masih terlalu larut dalam samudera pertanyaan.

"Tahu enggak, sih? Si Putra aneh banget. Tadi dia ketawa sendiri waktu tahu pertanyaanmu. Terus aku paksa buat cerita dan dia bilang baru mau buka mulut kalau kita teleponan. Tra, ngomong, Tra. Ini udah aku panggilin Mbak Sri, awas aja kalau enggak mau ngomong atau nyari alasan lain."

Sedikit tertawa, kerisauan Sri perlahan terangkat. Ia masih mengingat percakapannya dengan Putri lewat WhatsApp ketika gadis itu mengatakan bahwa cara bicara Putri sangat ngegas dan cukup berbeda dengan Sri yang lemah lembut seperti gadis keraton. Sri jelas tak terima jika disamakan dengan putri keraton, sebab Putri belum mendengarnya secara langsung jika berbicara dalam bahasa Jawa ngoko.

Kedekatan keduanya selama satu bulan ini membuat Sri dan Putri merasa bahwa mereka saling mengenal satu sama lain di dunia nyata. Namun, hingga kini mereka sama sekali belum menceritakan nama lengkap keduanya yang aneh. Putri telah menceritakan tentang teman-temannya, begitu pula dengan Sri. Mereka menceritakannya dalam garis besar, hanya mengetahui nama panggilan dan cerita singkat karena selanjutnya, Putri dan Sri hanyut dalam pembicaraan bertema mistis dan sejarah.

"Ayo, Tra. Ngomong, jangan bikin para manusia ini penasaran."

Terjadi keheningan beberapa saat. Sri menyimpulkan bahwa Putri tengah mendengarkan suara penjaganya yang sama sekali tidak bisa Sri tangkap. Gadis itu sibuk menerka apa yang keduanya bicarakan di sisi lain Pulau Jawa itu. Sesaat kemudian, suara Putri kembali terdengar. "Katanya, dia kenal sama penjagamu, Mbak. Sebenernya, dia juga sering main ke rumahmu buat ketemu sama penjagamu. Dan dugaan kita bener dong, penjagamu sesosok raja. Lebih tepatnya raja mandala, sosok adipati gitulah di kerajaan bapaknya si Putra. Dia siapamu, Tra? Masih keluarga kayak para bhre di masa Majapahit atau gimana?"

"Apa? Penjagaku sesosok adipati?" Terkesiap, Sri tak tahu harus menjawab dengan cara seperti apa. Ia tak menyangka ada sosok yang sangat kuat dan berpengaruh yang selama ini menjaga dan hampir setiap saat berada di sisinya. Apakah sang adipati adalah lelaki yang selalu menyambanginya di mimpi? Apakah Adhikara adalah sosok penjaganya? Sepertinya memang benar begitu.

PratiwimbaWhere stories live. Discover now