18 | Araksa

1.3K 274 50
                                    

18 | Araksa
Penjaga



***



Malang, 20 Juni 2020

Mata Sri terasa begitu berat, ia mengantuk padahal baru beberapa jam yang lalu dirinya terbangun dari tidur yang cukup panjang. Beberapa saat sebelumnya, gadis itu memang kelelahan setelah membersihkan tumpukan bukunya yang berserakan di mana-mana. Ada sebuah lemari buku di kamarnya, berisi koleksi komik atau novel fiksi. Di sisi lain kamarnya, ada sebuah meja belajar yang merangkap menjadi rak buku untuk sesi non-fiksi, sumber-sumber buku untuknya belajar di masa pandemi ini, meskipun tak pernah dibuka karena lebih sering mengakses buku digital di gawai. Ia membersihkan debu-debu yang menempel di sampul bukunya, tak lupa memasang plastik pelindung untuk koleksi-koleksi terbarunya. Jujur saja, koleksi itu sudah lama ia beli dan baru sempat dibaca beberapa waktu ini.

Berbaring di atas ranjangnya, Sri merasa kesadarannya perlahan disedot. Tubuhnya terasa berat. Rasa sakit menyelimuti raganya, seperti dipelintir. Ia mengalami tindihan. Oh tidak, ia tidak suka dengan apa yang terjadi selanjutnya. Sudah beberapa kali ia mengalami hal-hal aneh dan tak mengenakkan setelah mengalami tindihan. Sudah dua tahun terakhir ia jarang merasakan hal ini. Jika beruntung, ia hanya akan melihat makhluk-makhluk aneh dalam mimpi. Jika parah, ia bisa masuk ke dunia lain. Itulah yang dinamakan rogo sukmo atau astral projection. Menurut penjelasan dari Putri, seharusnya Sri takkan kenapa-napa jika melakukan rogo sukmo tanpa sengaja. Yang sulit adalah mengendalikan diri jika peristiwa tersebut disengaja, sebab pernah ada roh manusia yang terlalu nyaman dengan dunia seberang sehingga tak ingin kembali ke dalam raganya.

Ia ingin berteriak, tetapi tubuhnya tak ingin melakukannya. Kaku, lidahnya seperti mati saraf. Biasanya Sri akan sekuat tenaga mengembalikan kesadarannya. Namun, kali ini ia merasa kalah dan membiarkan dirinya terseret menuju tempat antah berantah. Sri berharap dalam hati bahwa itu adalah sebuah mimpi. Namun, sepertinya bukan. Kini, ia berada di suatu tempat yang asing. Lagi-lagi bernuansa kuno seperti ketika ia bermimpi tentang Ken. Kakinya melangkah dengan sendirinya, lalu ia melihat seorang laki-laki tengah berdiri di depan sebuah gapura.

Sri mengenal lelaki itu. Adhikara, sosok yang memberinya semangat dan secuil gula jawa, serta menyebut gadis itu sebagai seorang filsuf. Aneh. Jika begini, ia bisa mengenal rupa Adhikara. Akan tetapi, ketika kembali ke dunia nyata atau terbangun nanti, wajah itu akan terlupakan. Sebenarnya siapa sosok lelaki yang tengah menatapnya tanpa ekspresi itu?

Matanya bergerak menyusuri tempat yang masih asing ini. Gapuranya terbuat dari batu bata. Bukan Gapura Wringin Lawang karena arsitektur bangunannya jauh berbeda, tempat ini sangat kecil jika dibandingkan dengan gapura yang konon menjadi pintu masuk Trowulan di masa lampau itu. Ia melihat ada sebuah patung raksasa yang membelakanginya. Kemudian, ia menatap sebuah bangunan di balik gapura. Dalam hati ia membatin, ah ini adalah Petilasan Hayam Wuruk. Namun, sedetik kemudian ia menyadari apa yang baru saja dibatinnya. Ia sama sekali belum pernah melihat penampakan Petilasan Hayam Wuruk, hanya membahasnya sekilas bersama Putri, begitu pula petilasan-petilasan raja-raja Majapahit lainnya yang ada di Mojokerto. Ini seperti sebuah apriori, sebuah pengetahuan mengenai sesuatu sebelum Sri melihat bangunannya secara langsung. Hei, mencari fotonya di mesin pencarian saja tidak sempat karena ia masih kepikiran dengan ucapan Putra seminggu yang lalu. Keyakinannya semakin bertambah ketika menyadari sebuah tulisan yang menandakan bahwa tempat tersebut memang petilasan sang maharaja.

Adhikara menarik lengannya tanpa suara. Mereka melewati gapura tersebut dan melihat sebuah bangunan yang dicat warna hijau. Sri tak sempat menatap ke sekeliling, sebab Adhikara memblokir pandangan gadis itu dengan tubuh dan wajahnya. Senyuman terbit di wajah Adhikara. Menatap netranya, Sri merasa bahwa Adhikara mencoba untuk mengatakan sesuatu. Namun, gadis itu tak bisa menangkap apa yang hendak disampaikan sosok lelaki tersebut melewati matanya.

PratiwimbaWhere stories live. Discover now