1 | Widyamada

4.9K 571 63
                                    

1 | Widyamada
Haus Ilmu Pengetahuan



***



Malang, 9 Maret 2019

Suara sendok besi dan cangkir keramik yang tengah bersentuhan terdengar. Aroma khas teh yang tengah diseduh menguar bersamaan dengan jemblem—jajanan tradisional berbentuk bola yang terbuat dari singkong dan kelapa, ditiriskan dari minyak panas. Jam yang berdenting berkolaborasi dengan burung-burung gereja yang tengah berkicau di atap rumah. Sri baru saja keluar dari kamar mandi sembari menyenandungkan beberapa nada abstrak, menyebabkan uap-uap sisa air panas yang ia gunakan untuk membersihkan diri itu keluar ketika pintu terbuka. Rambut basahnya dibalut oleh handuk putih gading. Tanpa banyak bicara, gadis itu menyomot jemblem yang baru Mbah Ni masak dan meniup jajanan tersebut agar lidahnya tak terluka. Sembari mengunyah, bibir Sri menunjukkan sebuah senyuman hingga kedua matanya yang lebar jadi menyipit.

Tangan Sri terulur untuk mengambil cangkir berisi seduhan teh panas itu. Namun, sebelum kulitnya dan keramik itu saling bersentuhan, Mbah Ni telah terlebih dahulu memukul lengan Sri. Bibir gadis itu maju beberapa senti dan mengelus-elus tangannya yang sedikit memerah. "Aduh. Ambek putu dhewe kok kereng seh (sama cucu sendiri kok galak, sih), Mbah?"

"Itu teh punya Mbah Kem. Kalau mau, seduh sendiri. Jangan seperti seorang putri keraton yang apa-apa harus disiapkan oleh orang lain. Di panci masih ada sisa air panasnya." Mbah Ni, namanya. Perempuan lanjut usia yang bernama lengkap Haryani itu adalah nenek Sri, sedangkan Mbah Kem atau Soekemi adalah kakek sang gadis, yang kini baru saja keluar dari kamarnya dengan mengenakan sebuah sarung berwarna merah.

"Kalau begitu, 'kan, bisa bicara baik-baik. Bukannya langsung memukul seperti itu. Lagipula kalau itu untuk Mbah Kem, kenapa cangkirnya tidak seperti yang biasanya?" ucap Sri tak terima. Bukan, bukannya gadis itu durhaka. Ia dan Mbah Ni memang sering bertengkar, sudah seperti minyak dan air yang tak bisa akur. Dan, kali ini Sri sama sekali merasa dirinya tidak salah. Biasanya Mbah Ni menyajikan teh untuk Mbah Kem menggunakan gelas besi berwarna kuning dengan gambar bunga-bunga. Kali ini, Mbah Ni malah menyeduhnya di gelas yang biasanya Sri gunakan untuk meminum teh bersama dengan biskuit. Kalau begini, siapa yang salah?

Mbah Kem datang untuk membela cucu perempuannya itu. Kata beliau, Sri adalah kesayangannya sebab cucu-cucunya yang lain tidak pernah mau diajak membicarakan hal-hal yang beliau sukai. Jika Sri dimarahi Mbah Ni, biasanya Mbah Kem akan balik memarahi sang nenek. Mungkin itu sebabnya Mbah Ni tak pernah bisa melihat Sri bahagia. Saat gadis itu memiliki waktu longgar, biasanya beliau akan menyuruhnya untuk melakukan ini dan itu. Dan jelas, itulah hal yang membuat Sri malas menginap di kediaman mereka meski hanya setiap dua minggu sekali.

"Sudahlah, begitu saja kok Sri dimarahi?" ucap Mbah Kem yang langsung membuat Mbah Ni pergi dari dapur dan bertolak menuju halaman depan untuk melakukan rutinitas paginya yang lain, yakni menyiram tumbuhan-tumbuhan kesayangan. Kakak perempuan Mbah Ni memiliki sebuah toko yang membudidayakan bunga di Kota Wisata Batu, tepat di lereng Gunung Arjuno. Setiap pulang mengunjungi kakaknya, Mbah Ni akan membawa beberapa tanaman sekaligus. Putri bungsu beliau yang tak lain adalah ibu Sri, sering diberi beberapa bibit bunga untuk ditanam di rumahnya sendiri.

"Kamu minum saja teh itu, Sri. Mbah Kem kemarin sudah bilang kalau tidak mau minum teh pagi-pagi. Jadi, seharusnya Mbah Ni membuat itu untukmu. Mbahmu itu ya, sayang tapi gengsi." Mbah Kem mendorong cangkir berisi teh hangat itu kepada Sri, lalu menenggak air putih hangat setelah mengeluarkannya dari dalam termos dan memindahkannya ke dalam gelas biasa.

PratiwimbaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang