SIM 65

845 147 4
                                    

Jangan lupa vote nya. Kan, Syifa gak jadi mati:)

______

"Bukan, Maya! Kau bukan istrinya!" tegas Selamet.

Gardan menggelengkan kepala. "Kau istri Alvin. Peluklah dia! Kau sudah dihalalkan olehnya."

Syifa menjatuhkan buku yang ada di tangannya dan berhamburan menuju dekapan Alvin. Alvin membalas pelukannya sedikit erat melepas kerinduan yang selalu bersinggah di dalam hatinya. Syifa menempelkan pipinya di dada bidang milik Alvin. Air matanya menetes membasahi baju hitam milik sang suami. Alvin tak henti-hentinya mengusap pucuk kepala milik Syifa.

"Maafkan aku yang tidak pernah percaya padamu," lirih Syifa.

"Tidak apa. Aku senang sekarang kau bisa percaya padaku."

Gardan tersenyum manis melihat itu. Sedangkan Selamet memasang wajah murka dengan hati yang kepanasan. "Maya, lepaskan dia! Mengapa kau percaya begitu saja hanya karena buku itu?!"

Syifa melepaskan pelukannya dan mengalihkan pandangannya kepada Selamet. "Bagaimana bisa aku terus-menerus denganmu tanpa merasakan keganjalan? Banyak yang mengatakan bahwa aku adalah Syifa. Hanya kau seorang yang mengatakan bahwa aku adalah Maya. Bahkan, nenekmu saja tidak pernah membenarkan ucapanmu. Satu lagi, tingkahmu selalu saja membuatku merasa curiga."

Alvin memegang kedua pipi Syifa dan meluruskan kepala wanita tersebut agar matanya menatap ke wajah Alvin. Pria itu mengikatkan tali cadar berwarna hitam di belakang kepala milik Syifa. Alvin memandangi mata Syifa lalu ia menyunggingkan senyuman manisnya. Wanita yang selalu ia rindukan, sekarang sudah ada di hadapannya. Alvin sangat amat merasa beruntung, hatinya tak pernah berhenti untuk bersyukur.

"Kau mau, kan, pulang bersamaku?" tanya Alvin.

Syifa menganggukkan kepalanya sontak membuat Selamet membelakkan mata. "Aku suamimu, Maya, dan aku tidak mengizinkanmu!"

"Sejak kapan kau menikahinya?" tanya seorang wanita paruh baya yang tengah berjalan menghampiri Selamet.

"Ne--nenek?!"

Wanita paruh baya itu mengalihkan pandangannya menuju Syifa. "Pulanglah bersama suamimu, Nak. Selamet hanya terobsesi denganmu, oleh karena itu dia nekat untuk mempengaruhimu."

Wanita paruh baya itu menarik Selamet ke dalam rumah dan menguncinya di dalam sana. Alvin, Gardan, dan Syifa berpamit pulang. Sedangkan di dalam rumah panggung itu, suara gebrakan pintu terdengar sangat keras. Selamet berteriak dari dalam sana. Wanita paruh baya tersebut menyuruh ketiga pemuda yang ada di hadapannya untuk segera pergi dari sini.

Alvin, Syifa, dan Gardan cepat-cepat menjauh dari rumah ini. Selang beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan gang. Alvin mengajak Syifa untuk masuk ke dalam mobil, sedangkan Gardan memasuki mobilnya sendiri. Alvin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Gardan menguntitnya dari belakang.

Syifa duduk di kursi sebelah pengemudi dan otomatis perut besarnya yang selalu tertutup oleh kerudung panjang kini menonjol. Alvin menjadi salah fokus. Pria itu bertanya dengan hati-hati, takut akan menyinggung perasaan Syifa, "Apa kau hamil, Sayang?"

Syifa menggelengkan kepalanya. "Mas Selam ... eum, maaf. Selamet mengatakan bahwa aku mempunyai penyakit. Oleh karena itu perutku membesar. Dia selalu menyarankanku untuk membenturkan perutku ke tembok agar penyakitku hilang. Namun, aku tidak pernah melakukannya karena itu sama saja aku menyakiti diriku sendiri."

Surat Izin Mencintai (END)Where stories live. Discover now