SIM03

1.4K 218 5
                                    

Bima enyah dari hadapan Alvin. Alvin menaiki anak tangga satu persatu. Pria tersebut masuk ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Alvin terlihat santai santai saja walaupun besok acara pernikahannya akan digelarkan.

Alvin merasa bahwa pernikahan ini hanyalah sebuah syarat agar ia bisa mengabulkan permintaan kedua orang tuanya walaupun ia harus mengorbankan perasaan Evrita. Namun, nyatanya yang jadi korban di sini adalah Syifa. Syifa yang tak tahu apa-apa harus dinikahi oleh pria aneh ini? Sungguh malang nasibnya. Namun, jika wanita lain yang ada di posisi Syifa mungkin sekarang ia tengah girang karena akan dinikahi oleh seorang pria tampan dan berlimpah harta.

"Enak sekali hidupku. Tidak perlu lelah-lelah bekerja, tetapi uang terus mengalir ke dalam dompetku. Kerjaku hanya makan, tidur, mengomel, dan memberi gaji kepada bodyguard dan pembantu di sini saja. Sedangkan yang benar-benar bekerja adalah Aarav. Dia memang orang berguna," ujar Alvin bermonolog.

Alvin memejamkan mata dan masuk ke alam mimpinya. Arloji yang melingkar sempurna pada pergelangan tangannya kini menunjukkan pukul setengah lima. Di sore ini Alvin masih bisa bersantai, sedangkan ia belum memilih baju pernikahannya untuk esok hari. Namun, Alvin sudah menyuruh Aarav untuk memilih baju pengantin untuk acara esok.

....

Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa Alvin akan terbangun dari tidurnya. Alvin masih tertidur pulas dengan kasurnya yang sudah berantakan. Jika Alvin tidur, ia sering menendang bantal atau benda apapun yang ada di sampingnya.

Bahkan, ketika pertama kali Aarav menginap di kamar Alvin, Aarav sudah merasa kapok karena Alvin terus menendangnya. Aarav tahu bahwa Alvin tak sadar. Namun, tetap saja hal itu menguras emosinya. Aarav sudah tak mau lagi tidur berdekatan dengan Alvin sekalipun keadaan rumah tengah horor horornya seperti kala itu.

Ceklek!

Tak ada yang berani membuka pintu kamar tidur tuan muda Alvin tanpa izin kecuali Fatimah, Burhan, Aarav dan Evrita. Namun, kali ini yang datang adalah Aarav dengan membawa tas besar isi baju pengantin yang ia pilihkan untuk Alvin dan calon istri Alvin. Aarav mendelik ketika melihat sahabatnya yang tengah molor.

Ide berlian melintas di benaknya. Aarav tersenyum jahil kepada Alvin. Pria tersebut melemparkan tas yang ia bawa tadi. Tas tersebut mendarat tepat di atas kasur Alvin. Aarav pergi mengambil megaphone yang ada di kamarnya. Setelah itu, ia kembali ke kamar Alvin. Aarav akan melakukan apa yang selalu Alvin lakukan kepada body guard di sini.

Aarav menaiki kasur yang tengah ditiduri oleh Alvin. Ia melompat-lompat di atas kasur sembari memegang megaphone yang sudah diaktifkan. "Bangun ...!" teriaknya dengan megaphone yang diletakkan tepat di depan telinga Alvin.

Alvin terlonjak kaget dan refleks celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri mencari keributan. Namun, tatapannya berubah menjadi kesal ketika melihat Aarav yang tengah berdiri di atas kasurnya sembari cengengesan mengejek dirinya.

"Tidak ada kerjaan!" kesal Alvin.

"Justru kau yang tidak ada kerjaan. Pulang kantor awal sekali, lalu pulang dan tidur. Enak sekali hidupmu."

Aarav mengambil kantong berwarna cokelat yang berisi baju pengantin. Lalu, ia menyodorkannya tepat di wajah Alvin. "Aku baru saja membawa baju kalian untuk hari esok."

"Bagus. Mana baju pengantin wanita?"

Aarav mengeluarkan gaun pengantin wanita dengan hijab dan cadar. Semuanya berwarna putih. Tak lupa, Aarav juga memberikan mahkota berlian untuk diletakkan di atas kepala yang akan dibaluti oleh tudung panjang yang menutupi dada.

Aarav memang pintar memilih baju. Alvin melihat gaun pengantin milik calon istrinya. Sangat tertutup, pikir Alvin demikian. Alvin mengeluarkan baju miliknya dan memasukkan gaun calon istrinya ke dalam kantong yang Aarav bawa. Tanpa berpamitan, pria itu melengos pergi keluar dari kamarnya.

Alvin keluar dari rumahnya. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Jarak antara rumahnya dan rumah kedua orang tuanya tidak terlalu jauh. Untuk sampai ke rumah Fatimah dan Burhan membutuhkan waktu kurang lebih dari dua puluh lima menit.

Setelah menempuh perjalanan, Alvin masuk begitu saja ke dalam rumah. Ia melihat sang umi dan Syifa yang tengah bercanda ria. Kedekatan mereka berdua membuat Alvin tercengang. Baru kali ini sang umi bisa menerima wanita dari sekian banyaknya mantan kekasih Alvin yang sudah Alvin kenalkan kepada sang umi. Namun, hanya Syifa yang diperlakukan baik olehnya.

"Baju untukmu," ujar Alvin seraya menyodorkan tas tersebut kepada Syifa. Namun, Syifa hanya menundukkan kepalanya antara menjaga pandangan dan mengurangi rasa takut di hatinya. Wajah Alvin sangat menyeramkan baginya.

Fatimah mengambil alih tas tersebut dan mengecek apa isinya. Setelah melihatnya, Fatimah tersenyum manis. Fatimah merasa tak percaya wanita cantik yang ada di depannya ini esok hari akan menjadi menantunya. Fatimah sudah lama menginginkan hal ini terjadi. Ternyata, Allah Subhanahu Wa Taala mengiyakan keinginannya.

"Sudah beres, bukan? Sekarang kau pulang saja, Alvin! Kau belum halal untuk Syifa," usir Fatimah.

Dengan raut wajah kesal yang disembunyikan, Alvin menganggukkan kepalanya dan melangkahkan kaki menuju luar rumah. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi. "Anak umi itu sebenarnya siapa? Aku atau Syifa? Wanita itu pandai sekali mengambil hati orang!"

Sesampainya di rumah, kehadiran Alvin membuat satu rumah dikejutkan olehnya. Alvin berkali-kali menembakkan peluru ke langit-langit gelap sehingga terdengar suara yang sangat bising. Aarav datang ke arah sumber suara, ternyata suara itu disebabkan oleh ulah Alvin.

"Kau sedang apa?!" tanya Aarav dengan nada yang sedikit tinggi.

"Diam!"

Aarav merogoh sakunya dan mengeluarkan pistol miliknya. Aarav menembak pistol milik Alvin sehingga pistol Alvin terpental cukup jauh. Aarav menembaknya dengan tepat sasaran. Aarav jauh lebih hebat dari pada Alvin. Bahkan, di rumah ini hanya Aarav yang berani berbicara dengan nada tinggi kepada tuan muda itu.

Aarav membawa Alvin ke dalam rumah. Mereka berdua duduk di sofa yang letaknya ada di ruang tamu. Aarav bertanya mengapa Alvin bisa semarah ini.

"Umi lebih menyayangi Syifa dariku," sahut Alvin.

"Ppffftt, jadi, kau iri dengan calon istrimu, Vin?" Aarav menahan tawanya agar tidak pecah.

"Asal kau tahu, aku menikahi Syifa hanya karena terpaksa. Ingat, karena terpaksa! Lagi pula, aku masih berpacaran dengan Evrita."

"Apa kau gila? Putuskan Evrita sekarang juga! Dia wanita yang sangat licik, apa kau ti---"

"Tidak! Evrita adalah wanita yang baik hati," sahut Alvin dengan santainya.

"Lebih baik kau berusaha untuk mencintai Syifa, calon istrimu. Dia wanita salihah. Syukur-syukur dia bisa membimbing-mu, lalu mengapa kau memilih wanita yang berpakaian seperti pelacur?"

"Karena aku menyukainya."

Surat Izin Mencintai (END)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें