SIM02

1.7K 232 16
                                    

Wanita paruh baya itu adalah umi Alvin, dia bernama Fatimah. Sedangkan abi Alvin bernama Burhan. Pakaiannya sama seperti Syifa, tertutup. Namun, bedanya Fatimah tidak mengenakan cadar.

"Cantik sekali. Masyaallah. Siapa namamu, Nak?" tanya Fatimah.

Syifa sangat ragu untuk menjawabnya. Namun, jika ia tidak menjawab maka itu sangat tidak sopan. Lebih-lebih lagi wanita paruh baya itu terlihat ramah padanya. "A--Asyifa."

"Nama yang indah."

Burhan melirik ke wajah Alvin dengan tatapan bengisnya. Dilontarkan tatapan seperti itu oleh sang abi membuat Alvin menundukkan kepalanya. Beberapa detik yang lalu Alvin terlihat seperti pria. Namun, sekarang Alvin terlihat seperti anak kecil yang sedang pasrah karena hendak dimarahi oleh ayahnya.

"Mengapa wanita ini ada di kamarmu? Apa kau tidak ingat? Sebelum halal, kau tidak diperbolehkan untuk berduaan dengan calon istrimu!"

"Ta--tapi, Abi, tadi Syifa pingsan di jalan. Alvin hanya ingin membantunya. Lagi pula setelah itu Alvin membiarkan salah satu pembantu untuk merawatnya agar cepat sadar," dalih Alvin

Fatimah melirik ke arah Syifa. "Apa itu benar, Nak?"

Syifa hendak menggelengkan kepala. Namun, diam-diam Alvin mengacungkan pistolnya tanpa sepengetahuan Burhan dan Fatimah sontak membuat nyali Syifa menciut. Asyifa terpaksa menganggukkan kepalanya. Namun, jika dilihat dari raut wajah Syifa, ada sedikit keganjalan yang dirasakan oleh Fatimah. Sangat terlihat jelas bahwa Syifa sedang ketakutan.

"Alvin, apa kau melukainya? Dia terlihat ketakutan!" tuding wanita paruh baya tersebut.

"Umi tahu dari mana? Wajahnya saja tertutup oleh kain lap."

Burhan membelakkan matanya. "Hei, itu cadar!"

"Ya, cadar. Wajahnya saja tertutup oleh cadar."

Fatimah menggelengkan kepalanya. "Umi ini wanita. Umi tahu betul bagaimana tingkah seorang wanita ketika sedang ketakutan."

Ketika dua orang paruh baya kembali menatap Syifa, Alvin langsung memelototi wanita bercadar itu sebagai kode.

"Ti--tidak, Umi. Syifa baik-baik saja," ujar Syifa.

Wanita paruh baya itu menoleh ke wajah Syifa. Alvin mengembuskan napas lega. Fatimah menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Senyuman manis terpancar indah di wajahnya. Sepertinya, Fatimah sangat senang jika Syifa akan menjadi menantunya. Syifa benar-benar terjaga. Bahkan wanita bercadar itu selalu menundukkan pandangannya.

"Syifa, apa kau ingin ikut pulang bersama kami? Besok kau berangkat ke gedung dari rumah kami. Tentu saja kau tidak ingin berduaan dengan Alvin di sini, bukan?" tanya Fatimah. Fatimah tahu bahwa Syifa sudah tak mempunyai keluarga.

Syifa menganggukkan kepalanya dengan ragu. Dari pada ia dilukai oleh Alvin, lebih baik Syifa ikut bersama Fatimah, calon mertuanya. Fatimah menuntun tangan Syifa menuju mobilnya yang ada di bawah. Perlakuan Fatimah sangat lembut kepada Syifa. Sebelum Syifa pergi, Alvin sempat memberi isyarat. Isyarat itu mengartikan ancaman. Alvin mengancamnya jika Syifa memberitahu yang sebenarnya pada Fatimah dan Burhan, maka Alvin tak segan-segan untuk bertindak kasar padanya.

"Sebenarnya anak umi itu aku atau dia?!" ketus Alvin.

Fatimah, Burhan, dan Syifa sudah menjauh dari kamar Alvin. Alvin berlari ke balkon untuk memastikan bahwa kedua orang tuanya itu sudah pergi atau belum. Jika sudah, Alvin akan pergi ke apartemen kekasihnya. Alvin sangat merindukannya.

Alvin menunggu mobil berwarna putih itu menjauh dari rumahnya. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya mobil itu melaju menjauhi rumah. Alvin keluar dari kamarnya dengan wajah yang antusias. Alvin hendak menuruni anak tangga. Namun, Alvin tercengang ketika kekasihnya justru sudah ada di rumah ini.

Surat Izin Mencintai (END)Where stories live. Discover now