SIM10

1.2K 185 1
                                    

"Iya, Abi," sahut Alvin.

Burhan pergi keluar ruangan Alvin untuk meredakan rasa emosi. Alvin menyembulkan kepalanya ke luar ruangan. Alvin memastikan bahwa sang abi sudah menjauh dari ruangannya. Setelah itu, pria tersebut sedikit bersorak gembira dengan suara yang lirih. Ia berkata seolah-olah bahwa ia akan berusaha menjauhi Evrita. Namun, sebenarnya sampai kapan pun Alvin tidak akan menjauh dari kekasihnya itu. Lagi pula, Alvin tidak mencintai Syifa. Cinta Alvin tetap berpihak pada Evrita.

'Untuk apa aku menjaga Syifa? Memangnya dia siapa?' batin Alvin.

Rasanya harga diri Alvin direndahkan jika ia menjaga wanita yang baru ia kenal belakangan ini. Wanita sok suci, wanita yang suka menggurui, dan wanita aneh, hanya itu kesan pertama yang Alvin tanggapi dari Syifa. Alvin sangat yakin bahwa ia tidak akan pernah mencintai Syifa. Alvin sangat yakin bahwa suatu saat Syifa akan lelah dengan sikap dan perilaku Alvin, lalu Syifa akan menceraikannya, begitulah tebakan dan harapan Alvin. Namun, wanita seperti Syifa tidak akan menganggap remeh dalam urusan rumah tangga. Menikah adalah ibadah panjang yang sangat dibenci oleh setan.

Kesuksesan setan adalah menceraikan suami istri dan Syifa tidak akan membiarkan itu. Syifa sudah banyak belajar tentang ilmu agama, tidak mungkin jika Syifa hanya menyimpannya di dalam otak saja, tanpa menerapkannya.

'Aku tidak akan pernah mencintaimu, Syifa. Ingat itu,' batin Alvin.

Syifa dan Alvin selalu bersikap romantis jika sedang bersama Fatimah dan Burhan. Namun, di balik itu semua, ada hati yang keberatan dan ada hati yang tengah berusaha untuk berlapang dada meskipun terasa sedikit sulit, siapa lagi jika bukan wanita tangguh Syifa. Sebelumnya, Syifa sudah berikhtiar untuk keluar dari kamar Alvin. Namun, waktunya tidak cukup karena Alvin lebih dulu memasukkan Fatimah dan Burhan ke dalam kamarnya.

....

Malam hari pun tiba. Bulan menampakkan dirinya kepada alam semesta dengan membawa keindahan cahayanya yang menerangi langit malam dan bintang-bintang yang bertaburan. Langit di malam ini sangat indah sehingga membuat para pasangan halal memanfaatkan malam ini untuk berduduk santai berdua di taman kota seraya memandangi langit-langit.

Di sebuah rumah, mobil mewah baru saja terparkir di garasi. Alvin dan Burhan sudah pulang. Sekarang, jam menunjukkan pukul delapan malam. Kedua pria ini sudah makan malam di suatu rumah makan, begitupun Syifa dan Fatimah. Kedua wanita itu sudah makan terlebih dahulu.

"Alvin, tolong panggilan para bodyguard-muN Perintahkan mereka semua untuk makan malam," sambung Fatimah.

Alvin menganggukkan kepalanya. Seperti biasa, Alvin akan memanggil mereka menggunakan megaphone. Fatimah dan Burhan memandangi Alvin yang sedang berancang-ancang untuk berteriak di depan alat yang tengah ia pegang dengan tinggi yang disejajarkan dengan mulutnya.

"Masuk seka---"

"Alvin, kau tidak sopan sekali! Hampiri mereka dan ajak dengan cara baik-baik tanpa berteriak-teriak seperti itu!" omel Burhan.

Alvin menurunkan megaphone-nya. Ia berkomat-kamit sehingga membuat Burhan melontarkan tatapan bengisnya. Melihat itu, Alvin langsung berlari menghampiri para body guar-nya yang masih ada di luar rumah.

"Para bodyguard tercintaku, mari makan!" ajak Alvin dengan nada lembut yang terdengar dibuat-buat.

"Baik, Tuan."

Para bodyguard itu masuk ke dalam rumah dan duduk di meja makan. Meja makan itu sangat besar, kursinya juga lumayan banyak sehingga semua body guard itu bisa duduk di kursi tersebut. Fatimah dan Burhan hendak melangkahkan kakinya menuju lantai atas.

"Umi, ke mana Syifa?" tanya Alvin.

Sangat malas rasanya menanyakan keberadaan wanita cerewet itu. Sejujurnya, Alvin sudah tahu bahwa Syifa ada di kamar, di mana lagi? Alvin hanya basa-basi ingin terlihat bahwa dirinya tengah merindukan istrinya itu.

"Di kamar, Nak."

 Alvin berlari menaiki anak tangga satu persatu. Sesampainya ia di kamar, ekspresi wajahnya diubah menjadi datar setengah mampus. Sangat minim ekspresi. Alvin melihat wanita cerewet itu tengah melipatkan pakaiannya. Jika Alvin mengambil baju yang letaknya di bawah, Alvin akan menarik baju itu sembarangan tanpa mengangkat baju yang ada di atasnya terlebih dahulu sehingga membuat lemari Alvin senantiasa berantakan.

Syifa menolehkan kepalanya. Di dalam kamar, Syifa selalu melepas cadarnya. Wanita dengan hijab panjangnya itu menghampiri suaminya dan menjulurkan tangannya meminta untuk mencium tangan Alvin.

"Aku tidak mencintaimu, tidak usah mencium tanganku!" ketus Alvin seraya menyembunyikan tangannya di belakang.

"Kau pikir aku mencintaimu? Aku hanya menghormati-mu sebagai seorang suami."

Bukan Syifa namanya jika mudah menaruh hati pada seorang lelaki. Namun, jika soal menghargai, Syifa tahu bagaimana caranya. Alvin menyodorkan tangannya, Syifa mencium punggung tangan itu. Syifa kembali melipat baju Alvin. Tak lupa, wanita itu menyerahkan baju ganti untuk suaminya. Kini, Alvin tengah berada di kamar mandi, ia sedang membersihkan tubuhnya.

Tok! Tok! Tok!

"Buka saja, Umi."

Ceklek!

Syifa berbalik badan dan mencari keberadaan cadarnya. Setelah menemukannya, Syifa memakai cadar tersebut dan membalikkan tubuhnya 180 derajat. Kedua mertua Syifa sepertinya akan pulang karena Burhan tengah memegang kunci mobilnya.

"Syifa, Alvin ke mana?" tanya Burhan.

"Dia sedang mandi, Abi."

"Syifa, kami pulang lebih dulu, ya, Nak. Esok hari kita akan berkunjung lagi ke mari," pamit Fatimah.

Syifa menganggukkan kepalanya. "Mari Syifa antar!"

"Tidak usah, Nak. Kau di sini saja," cegah Burhan. Burhan hanya tidak ingin merepotkan-nya.

"Tapi ...."

Fatimah menganggukkan kepalanya pada sang menantu. "Kau di sini saja, ya."

"Baik, Umi. Hati-hati."

Fatimah dan Burhan menganggukkan kepalanya. "Assalamualaikum!" serentak dua orang paruh baya tersebut.

"Waalaikumsalam."

Setelah memastikan kedua mertuanya menuruni tangga, Syifa kembali masuk ke dalam kamar dan menutupnya kembali karena AC di kamar masih menyala. Syifa kembali merapikan baju-baju Alvin. Tak lama kemudian, suaminya keluar dari kamar mandi dengan menggunakan piama.

Dengan mata yang masih fokus melipat baju baju tersebut, Syifa bertanya, "Apa kau sudah salat isya?"

"Sudah."  Nada itu sangat datar. Alvin mendudukkan tubuhnya di atas ranjang. Alvin duduk di sebelah Syifa walaupun jaraknya cukup berjauhan.

 Setelah selesai melipatkan semua baju-baju milik Alvin. Syifa beranjak dari kasur dan memindahkan baju tersebut ke lemari. "Aku akan pisah kamar denganmu jika kau keberatan satu kamar denganku."

"Tidak usah," sahut Alvin seraya merogoh sakunya.

Alvin mengeluarkan ponsel pintarnya. Cukup lama Alvin terdiam dengan mata yang terlihat sangat fokus ke layar ponsel. Tak lam setelah itu, Alvin menempelkan ponselnya ke depan telinganya. Namun, tiba-tiba Alvin ingat sesuatu dan menjauhkan ponsel itu dari wajahnya.

"Umi dan abi sudah pulang belum?"

Syifa menganggukkan kepalanya. "Sudah."

Mendengar jawaban Syifa membuat Alvin mengusap dadanya. Setelah itu ia menempelkan kembali ponsel pintarnya itu ke telinganya. Ia menunggu seseorang di seberang sana untuk menjawab panggilan teleponnya. Namun, cukup lama untuk menunggu itu.

"Ada apa?" tanya seseorang di seberang sana.

Alvin mengerutkan keningnya. Ia melihat kembali nomor siapa yang tengah ia hubungi. Di sana tertera nama Evrita, tetapi mengapa suara itu terdengar seperti seorang pria? Alvin menerka-nerka, apakah Evrita selingkuh darinya?

Surat Izin Mencintai (END)Where stories live. Discover now