SIM07

1.2K 177 4
                                    

Alvin bangkit dari ranjangnya. "Kau bilang selain tidur? Oke, jika begitu katamu, aku akan pergi ke apartemen kekasihku yang lebih cantik darimu dan tidak cerewet sepertimu!" Alvin pergi menjauh dari Syifa dan keluar dari kamarnya.

Syifa menatap punggung Alvin yang mulai menjauh. Syifa tidak cemburu, ia hanya tak habis pikir saja dengan pria itu. Pria yang cara berpakaiannya dewasa. Namun, tingkah lakunya seperti balita. Syifa menggelengkan kepalanya. Wanita itu membereskan tempat tidurnya.

Setelah itu, Syifa membersihkan tubuhnya, memakai baju gamis, dan juga cadarnya. Beberapa menit kemudian, Syifa keluar dari kamar mandi. Wanita itu melihat dirinya di pantulan cermin.

 Syifa memakai gamis berwarna hitam, hijab hitam, dan cadar hitam. Hitam adalah warna kesukaan Syifa. Syifa keluar dari kamarnya dan membantu para pembantu yang di rumah ini untuk memasak. Alvin mempekerjakan delapan orang wanita sebagai pembantu di dapur. Pasalnya, jika satu kali memasak maka akan sangat banyak karena ada bodyguard yang harus diberi makan. Makan untuk para pekerja di rumah ini memang ditanggung oleh Alvin sendiri, tanpa memotong gaji mereka.

Kini, Syifa tengah memotong bawang. Ia berdiri di samping pembantu yang paling tua. Dia adalah Inem. Wanita paruh baya yang berusia lima puluh dua tahun. Dia sangat ramah. Sedari tadi, Syifa diajak mengobrol olehnya.

"Bibi sudah berapa lama kerja di sini?" tanya Syifa.

"Sudah ada kurang lebih enam tahun, Nyonya."

"Menurut Bibi, bagaimana sifat Alvin?"

"Dia lumayan keras kepala, Nyonya. Kekasihnya selalu saja datang ke mari untuk meminta uang. Tuan Alvin juga selalu menembak para pekerja di sini jika mereka berbuat kesalahan, tetapi di balik itu, Bibi tahu bahwa Alvin sebenarnya orang yang sangat baik," sahut Inem.

Syifa sangat terkejut ketika mengetahui bahwa Alvin selalu menembaki para pekerjanya. Padahal, membunuh itu sudah jelas dilarang di dalam Al-Qur'an.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Wa laa taqtulun-nafsallatii harromallohu illaa bil-haqq, wa mang qutila mazhluumang fa qod ja'alnaa liwaliyyihii sulthoonang fa laa yusrif fil-qotl, innahuu kaana mangshuuroo."

 Artinya, "Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan." Qur'an surat Al-Isra' ayat tiga puluh tiga.

Setelah Syifa selesai memasak. Syifa menyantap makanan tersebut dan mengajak para pembantu yang ada di dapur untuk makan bersama karena Alvin tengah tidah ada di rumah ini.

Sedangkan di sisi lain, Alvin tengah berdiri di depan pintu apartemen Evrita. Berkali-kali Alvin mengetuk pintu. Namun, tak ada respon sama sekali. Pria itu mengetuk pintunya lagi.

Ceklek!

"Alvin?!"

"Hei, mengapa kau terlihat begitu terkejut, Honey?" tanya Alvin seraya menyerobot masuk.

 Evrita menarik lengan Alvin ke belakang dengan wajahnya yang ketakutan. "Eum, Honey, mengapa kau datang ke mari pagi-pagi sekali?"

"Apa tidak boleh?"

"Eum, boleh. Boleh saja," sahut Evrita sedikit gagap.

Alvin merebahkan tubuhnya di sofa. Evrita membulatkan matanya ketika Alvin duduk di sofa-nya. "Honey, ji--jika kau ingin tidur, di kamar sa---"

"Apa kau mencium aroma parfum laki-laki?" tanya Alvin.

Alvin mengendus-endus. Alvin mencium bajunya. Namun, ternyata baunya bukan berasal darinya. Kemudian, Alvin mengendus-endus sofa yang tengah ia tiduri. Baunya berasal dari sini. Melihat ekspresi wajah Alvin yang terlihat sudah mencurigainya membuat Evrita meneguk ludahnya dengan kasar.

"Kau membawa laki-laki lain ke sini?"

Evrita menggelengkan kepalanya. "Tentu saja ti--tidak. Parfum yang kau cium itu milikku. Aku menyukai aromanya," dalih Evrita.

Alvin sedikit memicingkan matanya dan menatap manik mata Evrita. Ditatap seperti itu oleh Alvin membuat Evrita salah tingkah dan terlihat sangat mencurigakan dari gelagatnya yang terlihat sedikit gugup.

"Aku ingin melihat parfum itu."

"Su--sudah habis, Honey. Ayolah, percaya padaku! Aku tidak berani berbohong kepadamu," ujar Evrita dengan nada yang merayu.

Alvin menganggukkan kepalanya, setelah itu ia memicingkan matanya. Tak lama kemudian, Alvin terlarut tidur ke dalam mimpinya. Evrita mengendap-endap berjalan ke arah jendela yang ditutupi oleh gorden.

Evrita membuka gorden tersebut dengan sangat perlahan-lahan. "Om, keluarlah!" titah Evrita dengan suara yang lirih.

Seorang pria berjas putih keluar dari tempat persembunyiannya. Pria itu kira-kira berusia empat puluh tahun. "Om pulang lebih awal, ya, Rita. Istri om sudah mengamuk karena om tidak pulang semalaman," ujar pria tersebut.

Evrita mengantar pria tersebut sampai di pintu. Sebelumnya, pria itu mencium pipi kanan milik Evrita. "Om, transfer uang ke rekening Evrita, ya. Evrita ingin membeli baju."

"Aman."

Pria hidung belang tersebut menjauh dari apartemen Evrita. Wanita itu menutup pintunya. Ia juga mengusap pipinya dengan kasar menggunakan bajunya.

"Jikalau bukan karena aku membutuhkan banyak uang, mana mungkin aku mau dicium oleh om-om sepertinya."

Evrita pergi ke kamar dan mengambil selimut. Evrita menyelimuti tubuh Alvin menggunakan selimut putih tersebut karena Alvin hanya menggunakan kaus dan celana selutut saja, Evrita takut jikalau Alvin kedinginan. Setelah itu, Evrita memainkan gawainya dan duduk di lantai yang letaknya di depan sofa.

Evrita menaruh dagunya di sofa yang tengah ditiduri oleh Alvin. Wanita itu menggenggam tangan kekar milik Alvin. Evrita berkhayal, seandainya saja ia yang menjadi Syifa. Pasti Evrita sudah meminta uang kepada Alvin setiap harinya.

Selang beberapa jam kemudian, Alvin terbangun dari tidurnya. Alvin mengerjapkan matanya berkali-kali. Kini, mata pria tersebut tertuju pada Evrita yang tengah memainkan ponselnya di dekatnya.

"Honey, jam berapa sekarang?" tanya Alvin dengan suara khas orang yang baru saja bangun dari tidur.

"Jam sembilan pagi."

Alvin mengubah posisinya menjadi duduk. "Semalam aku tidak bisa tidur."

"Oleh karena itu kau harus berpisah kamar dengan Syifa!" celetuk Evrita.

Alvin menggelengkan kepalanya. Evrita tidak tahu tujuannya mengapa Alvin ingin satu ranjang dengan Syifa. Alvin hanya ingin membuat Syifa tidak betah berumah tangga dengannya. Lalu, setelah itu Syifa bisa menceraikannya dan kedua orang tua Alvin akan kecewa pada Syifa. Itu adalah kemenangan bagi Alvin.

"Apa kau tahu, Honey? Syifa sangat cerewet, bahkan dia selalu menggurui-ku," jelas Alvin menyatakan sikap Syifa.

"Istri durhaka. Ceraikan saja dia!"

"Aku ingin jika dia yang menceraikan-ku."

"Why? Kau bisa menceraikannya tanpa menunggu Syifa menceraikan-mu," tanya Evrita.

Evrita sangat gatal. Ingin sekali Evrita menghancurkan rumah tangga keduanya. Namun, jika Evrita melakukannya, itu akan memberi risiko juga untuknya. Yaitu, Evrita tidak bisa mencari uang dari pria lain jika tidak ada wanita yang bisa menghalangi Alvin untuk bertemu dengannya.

Tempo hari, Evrita mendapatkan banyak uang dari pria lain. Itu berkat Alvin karena Alvin tidak menghampiri ke apartemennya. Tadi pagi, Evrita nyaris ketahuan oleh pria ini. Namun, lagi-lagi otak Evrita yang cerdas bisa menangani semua ini.

"Jika aku melakukannya, umi dan abi akan sangat marah padaku."

Evrita menganggukkan kepalanya. Dua orang kolot itu memang menyusahkan, pikir Evrita demikian. Sedangkan di sisi lain? Syifa tengah menyapu rumah yang besar ini. Sangat menguras tenaga. Ketika Syifa hendak menyapu lantai atas, tiba-tiba ia berpas-pasan dengan Aarav.

Surat Izin Mencintai (END)Where stories live. Discover now