SIM09

1.1K 205 0
                                    

"Abi ingin tahu bagaimana caramu bekerja di kantor perusahaan."

Alvin terdiam sejenak. Lalu, ia mengangguk sebagai jawaban menyetujui permintaan sang abi. Tenang saja, Alvin bisa bekerja dengan sangat baik. Namun, hanya saja Alvin selalu malas untuk melakukannya. Jika ada Aarav, mengapa harus dirinya yang mengurus perusahaan itu? Alvin hendak membuka pintu mobil. Namun, Burhan mengurungkan niatnya.

"Ada apa, Abi?"

"Jas-mu pakai dahulu! Seharusnya jika sudah keluar dari kamar, kau sudah mengenakan jas itu. Harus berapa kali abi ingatkan?!" omel Burhan.

"Sampai ingat."

Alvin memakaikan jasnya. Setelah itu, Alvin membukakan pintu mobil untuk sang abi dan menutupnya. Alvin tersenyum jahil. Pria itu kabur meninggalkan Burhan yang masih ada di dalam mobil.

Burhan membuka pintu mobilnya. "Alvin, kau kurang ajar sekali!"

Pria paruh baya itu mengejar Alvin. Namun, ia menghentikan langkahnya ketika melihat Alvin yang tengah mencium punggung tangan Fatimah. Ternyata, Alvin berlari hanya untuk berpamitan kepada umi-nya. Burhan mengira bahwa Alvin ingin menjahilinya.

"Syifa, aku berangkat," pamit Alvin.

Syifa menganggukkan kepalanya seraya mencium punggung tangan milik sang suami. Alvin membalasnya dengan memberikan sebuah kecupan hangat di kening Syifa. Apa kalian tahu? Alvin terpaksa melakukannya. Ia hanya ingin terlihat mesra di hadapan Fatimah dan Burhan agar hubungan rumah tangganya tidak dicurigai.

Fatimah dan Burhan menyunggingkan senyumannya. "Masyaallah." 

"Umi, jaga istri Alvin!" titah Alvin.

Fatimah menganggukkan kepalanya. Kedua pria itu keluar dari rumah, sedangkan Fatimah kini mengajak Syifa untuk pergi mall. Syifa awalnya menolak. Namun, Fatimah sedikit memohon sehingga membuat Syifa menjadi tak enak hati. Mereka berdua pergi ke mall disupiri oleh bodyguard kepercayaan Alvin, yaitu Bima. Setelah sampai di mall, Fatimah memilih-milih gamis untuk Syifa.

"Umi ingin membelikan-mu gamis. Apa kau menyukai ini?" tanya Fatimah seraya menunjukkan baju yang ia pilih.

Syifa menggelengkan kepalanya. "Itu terlalu bagus, Umi."

"Apa kau suka dengan model yang sederhana?"

Syifa menganggukkan kepalanya. Sang mertua mencari-cari gamis yang lebih sederhana dari sebelumnya. Syifa menguntitnya dari belakang. Sebenarnya, Syifa tak menginginkan gamis baru. Namun, tak enak rasanya jika Syifa selalu menolak tawaran sang mertua.

"Bagaimana jika yang ini?" Fatimah menunjukkan sebuah baju berwarna hitam dengan tali pinggang dan juga beberapa hiasan yang sederhana.

"Warnanya cantik, Umi, tetapi Syifa lebih menyukai warna hitam," ujar Syifa.

"Bukankah kau sudah mempunyai banyak baju gamis yang nyaris sama? Jika begitu, orang-orang pasti akan beranggapan bahwa kau tidak pernah mengganti baju."

"Syifa memakai gamis untuk menutupi aurat, Umi. Bukan untuk memamerkan-nya."

Fatimah tersenyum manis. Hatinya terenyuh dengan sahutan itu. Wanita paruh baya tersebut menganggukkan kepalanya dan mencarikan Syifa gamis polos berwarna hitam, kerudung syar'i, dan nikab atau cadar. Selain itu, diam-diam Fatimah juga membelikan Syifa baju tidur.

Setelah selesai membeli baju, kedua wanita itu segera pulang dengan mobil yang disupiri oleh Bima. Selama di perjalanan, mereka tak henti-hentinya tertawa akibat lelucon yang diberikan oleh Syifa. Ternyata wanita bercadar itu sangat pintar melawak sehingga membuat Fatimah tak jenuh selama menempuh perjalanan menuju rumah Alvin.

Di waktu yang sama dan di latar tempat yang berbeda, sebuah kantor perusahaan tengah ricuh-ricuhnya akibat seorang pria paruh baya mantan pemilik perusahaan baru saja menampakkan batang hidung setelah sekian lamanya. Semuanya berbeda sejak Alvin memegang perusahaan ini. Para karyawan lebih suka jika perusahaan ini dipegang oleh Burhan.

Kini, Alvin tengah meeting dengan beberapa klien, tentunya dibawah pengawasan Burhan. Selang beberapa waktu kemudian, mereka berdua berjalan menuju ruangan Alvin karena meeting telah selesai. Alvin berjalan tepat di belakang Burhan. Pria paruh baya itu membukakan pintu ruangan milik putranya. Namun, tiba-tiba rahang Burhan mengeras ketika melihat kehadiran seorang wanita yang memakai baju kekurangan bahan.

Alvin sangat kebingungan ketika sang abi hanya menghentikan langkahnya di ambang pintu. "Tidak usah malu-malu, Abi. Masuk saja!" Alvin hendak menyerobot masuk. Namun, tiba-tiba matanya melotot ketika melihat Evrita yang tengah duduk manis di sofa.

"Hai, Om. Hai, Honey, aku ingin kau mengisi kartu rekening ini. Sepertinya, nominalnya sudah tidak cukup untuk dibelikan tas branded keluaran terbaru," ujar Evrita seraya menyodorkan sebuah kartu rekening di atas meja.

Dengan hati dilanda emosi, Burhan mengambil kartu tersebut dan melemparkannya ke luar jendela. Evrita membulatkan matanya, di kartu itu masih tersisa uang sebesar sepuluh juta. "Pria kolot, apa kau tidak punya otak?!"

Burhan mengangkat sebuah pot kaca. "Keluar sebelum aku melemparkan pot ini ke wajah dempul-mu itu!" bentak Burhan.

Alvin masuk ke dalam ruangannya dan menggusur tubuh sang kekasih agar ia keluar dari ruangannya. "Honey, mengapa kau membela pria kolot itu?!"

"Maafkan aku, Honey." Setelah mengeluarkan Evrita dari ruangannya, Alvin mengunci pintu. Evrita sempat menggedor-gedor pintu. Namun, untung saja ada Aarav di luar yang menarik Evrita agar keluar dari kantor ini.

Pria tampan berjas hitam membalikkan badannya 180 derajat dengan hati yang diselimuti nyali. Alvin tahu bahwa Burhan akan sangat murka padanya. Alvin memandang wajah sang abi yang sudah berubah warna menjadi merah padam dengan tangan yang dikepal kuat untuk menyalurkan emosinya. Alvin sudah sangat ketakutan. Alvin takut jika ia akan dihajar oleh sang abi.

"Apa maksudmu memanggilnya dengan sebutan tadi?"

"Apa kau belum memutuskannya, Alvin?!" bentak Burhan dengan sorot mata yang semakin tajam.

Alvin menundukkan kepalanya seraya menggelengkan kepalanya. Gelengan kepada dari anaknya membuat tangan Burhan gatal ingin sekali menghajarnya. Namun, Burhan menghargai atas kejujuran Alvin. Burhan berusaha keras untuk tidak meluapkan emosinya dengan kekerasan. Kekerasan telah membuatnya kehilangan banyak hal.

"Sadar, Alvin! Kau sudah mempunyai seorang istri. Istrimu jauh lebih cantik darinya, pasti semalam kau sudah melihat wajah Syifa, kan?! Jaga Syifa, jauhi Evrita! Apa kau paham?!" 

Dengan hati yang ragu, Alvin menganggukkan kepalanya. "Baik, Abi. Alvin akan mengusahakannya."

Burhan maju dua langkah. Lalu, ia memegang bahu Alvin. "Cintai Syifa sebelum Syifa pergi meninggalkan-mu. Wanita bisa berpura-pura tegar. Namun, wanita tidak bisa menahan keputusannya jika rasa kecewa sudah mengabuti hatinya. Tinggalkan yang buruk sebelum yang terbaik pergi meninggalkan."

Surat Izin Mencintai (END)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن