SIM 48

890 128 0
                                    

Follow dulu akun Fafa. Bantu share cerita ini supaya yang baca makin banyak.
Liat juga ke bawah. Ada bintang, kan? Lalu, klik. Makasih❤️
.
.
.
Happy Reading

Alvin menatap Syifa dan mengodenya untuk memakai hijab dan cadarnya. Alvin mengangkat kepala agar Syifa bisa bangkit dari posisi duduknya. Lalu, Syifa memakai hijab dan cadar dari pantulan kaca.

Fahira kini berpaling ke kamera depan. Ia rebahan dengan kepala yang bersebelahan dengan kepala milik bayinya. "Mana istrimu, Alvin? Kau ini pelit sekali, tante hanya ingin melihatnya saja!"

"Sabar, Tante. Kau ini cerewet sekali!"

Alvin mendudukkan tubuhnya dan memberikan celah agar Syifa duduk di sampingnya. Lalu, Syifa menghampiri dan menampakkan wajahnya di kamera. Fahira terperangah melihat mata indahnya. Mulutnya menganga sontak membuat Alvin ingin menyumpal mulut itu menggunakan bom atom.

"Assalamualaikum," sapa Syifa.

"Wa--waalaikumsalam. Kau cantik sekali, Nak. Masyaallah. Jika kalian berdua mempunyai anak, pasti anak kalian akan sangat menggemaskan. Aku ingin menjodohkan anakku dengan anak kalian."

"Enak saja! Aku tidak ingin mempunyai menantu yang lebih tua dari pada anakku. Kasihan anakku mendapatkan wanita yang sudah keriput," ejek Alvin.

Topik mereka berdua terlalu jauh sehingga membuat Syifa ingin sekali tertawa.

"Kau pikir anakku lahir dalam keadaan tua, hah?!"

Keduanya memang selalu seperti ini jika tengah ada di sambungan telepon. Awal-awal saja manis, selanjutkan mereka akan menghabiskan durasi untuk berdebat. Syifa mengode Alvin agar ia bersikap sopan sedikit pada Fahira. Alvin menurut dan memilih untuk mengalah saja.

....

Si cantik arunika menampakkan pesonanya di pagi hari. Jam menunjukkan pukul enam tepat. Seperti biasa, selepas salat subuh Alvin akan mengaji bersama Syifa. Alvin benar-benar semangat karena di dalam hatinya sudah mulai tertanam keinginan ingin cepat-cepat bisa membaca Al-Qur'an seperti Syifa. Alvin tersiksa jika hatinya terus digerogoti rasa malu dan minder.

Setelah selesai mengaji mereka pergi ke balkon kamar yang disorot dengan cahaya matahari yang hangat. Mereka biasanya mengaji paling tidak satu jam dan sekarang jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Alvin dan Syifa kini tengah berjemur di bawah cahaya matahari, tak lupa Alvin menutup pintu balkon karena AC masih menyala di dalam kamar.

Obrolan-obrolan mesra selalu melekat pada topik pembicaraan mereka berdua. Percaya atau tidak, lambat laun Alvin mulai lelah menyimpan Evrita di dalam hatinya. Terlebih lagi mengingat kelakuan bejatnya di tempat hiburan dewasa itu. Alvin selalu menjaga kehormatannya. Namun, Evrita sendiri yang membuat dirinya terendahkan di mata pria lain.

"Apa punggungmu masih sakit, Alvin?" tanya Syifa.

"Tidak, Sayang."

Syifa membuang napasnya. Rasa bersalah itu masih selalu ada. "Kau tidak perlu berbohong! Lagi pula, untuk apa kau melindungiku?"

Alvin memegang jemari tangan milik Syifa dan menyahut, "Karena kau istriku. Aku tidak mampu membimbingmu, tetapi setidaknya aku bisa melindungimu."

Ada pola pikir yang cukup matang yang tersempil di dalam diri otaknya. Hanya orang terdekat saja yang mengetahui ini. Syifa cukup terpukau dibuatnya. Semakin lama, sifat Alvin yang tak pernah ia ketahui sebelumya kini terbongkar. Ternyata ketegasannya hanya berlaku untuk menghadapi orang tertentu saja.

Setelah berjemur, pasutri itu bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Lalu, mereka pergi ke lantai bawah untuk sarapan pagi. Tak lama kemudian mereka menunggu kedatangan Fatimah dan juga Burhan. Dua orang paruh baya itu sudah berjanji akan menemaninya, karena ketika dokter membuka perban Alvin, Syifa tidak akan ada di dalam ruangan.

Syifa tidak tahan ketika melihat luka atau darah. Bahkan ketika memasak, Syifa tidak berani menyentuh daging ayam atau daging ikan yang masih mentah, terlebih lagi jika daging itu masih terdapat darah di dalamnya. Sembari menunggu mereka berdua duduk di sofa ruang tamu. Sedari tadi Alvin meletakkan kepalanya di atas paha milik Syifa. Wanita itu sudah memberitahu Alvin agar ia tidak rebahan di atas pahanya karena ada banyak para pembantu yang berlalu lalang di sini.

"Mereka berdua semakin intim saja," bisik salah satu pembantu yang bernama Sarah. Sarah baru saja melihat Alvin dan Syifa, kini dia sudah ada di dapur.

Inem yang mendengar penuturannya sontak mendelik tajam. "Wajar saja. Mereka suami istri. Kau tidak perlu iri!"

"Aku lebih suka Alvin yang selalu membentak si Syifa. Bisa-bisa aku mati dilanda cemburu melihat mereka berdua seperti ini terus!"

"Apa kau mau dipecat? Teruskan bekerja!" perintah Inem dengan tegas. Namun, nada suaranya masih terjaga agar tidak terdengar oleh Alvin.

Tanpa menyadari dirinya berperan sebagai apa, Sarah nekat jatuh hati kepada Alvin. Sarah selalu kepanasan setiap kali Alvin membawa Evrita ke rumah dan sekarang Alvin bermesraan dengan Syifa di rumah. Keduanya tidak ada mendingnya bagi Sarah. Di setiap sujud dan doanya Sarah selalu mendoakan semoga saja Syifa meninggal dunia, paling tidak mereka berdua bercerai sebelum mempunyai anak.

Doanya selalu tertuju pada keburukan Syifa. Sarah merasa iri dengan wanita bercadar itu. Sarah merasa bahwa wajahnya lebih cantik dari pada Syifa, sekalipun ia belum pernah melihat wajah Syifa tanpa cadar. Sarah selalu terpincut dengan pesona wajah tampan Alvin. Tempo hari ketika ia melihat Gardan, ia juga kepincut dengan wajahnya dan Alvin dilupakan.

"Alvin, bangunlah! Aku ingin minum," titah Syifa.

"Kau ingin minum?"

Syifa menganggukkan kepalanya. Alvin berteriak, "Sarah, ambilkan minum untuk istriku yang cantik ini!"

Setelah berteriak seperti itu Alvin tersenyum nakal pada mata Syifa. Sedangkan Sarah di dapur sana berkomat-kamit mengejek Syifa. "Si--siap, Tuan!"

"Seharusnya kau tidak memerintahkan dia! Aku bisa mengambil sendiri," ujarnya dengan raut wajah kesal.

"Tidak apa. Lagi pula, kerjaan Sarah hanya diam di dalam kamar dan berdandan seperti badut ulang tahun, setelah berdandan dia selalu keluar dari kamar dengan gelagatnya yang sok cantik. Dia memakan gaji buta."

Baru saja Syifa hendak membuka suara, tiba-tiba Sarah datang dengan membawa segelas air putih. Sarah menatap Syifa dengan tatapan yang tak mengenakkan, sedangkan Syifa? Wanita itu senantiasa menanggapinya dengan senyuman yang tulus.

Brak!

Karena emosi, Sarah tak sengaja meletakkan gelas itu terlalu kencang sontak membuat Alvin kesal. Lalu Sarah pergi begitu saja.

"Terima kasih, Sarah," ucap Syifa.

"Hm!"

"Hei, kau! Kemari!" titah Alvi

_____

To be continued
Username Instagram: faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Место, где живут истории. Откройте их для себя