"Soal bayaran tadi," kataku membuka obrolan setelah mobil bergerak perlahan dan memasuki jalanan.

"Kenapa?"

"Aku cuma penasaran, berapa aku harus membayarmu?" Aku menoleh takut-takut. Bisa jadi Alisia meminta harta berlebih yang tidak mampu kubayar atau nyawaku sekalian. Tidak ada yang tahu konsekuensi semacam apa yang harus kutanggung nantinya, berjaga-jaga selalu lebih baik.

"Aku akan memintanya nanti, kamu tenang saja. Bayarannya tidak akan membuatmu bangkrut dalam waktu dekat."

Aku hanya menjawab oh pelan dan melanjutkan aksi mengemudi menembus jalanan yang mulai ramai dengan pedagang kaki lima. Tidak ada obrolan selama perjalanan dan aku sibuk sendiri dengan semua asumsi yang bermain di dalam kepalaku.

Perjalanan berakhir ketika kami sampai di depan salah satu rumah tua di ujung kota. Rumah limasan berdinding kayu yang terlihat mengkilap. Aku melihat lagi alamat di kertas yang diberikan Alisia dan alamat yang kumasukkan ke maps. Tidak ada yang salah. Aku melongok keluar, tetapi tidak segera turun.

"Di sini?"

"Iya, kita ada di tempat yang benar." Alisia berjalan turun dari mobil.

Aku tidak menjawab dan memilih mengikutinya keluar dari mobil. Kami berjalan masuk ke dalam rumah tua itu. Alisia menarik gerbang kayu pendek yang membatasi halaman dan kami bergerak masuk. Gadis itu kemudian mengetuk pintu perlahan. Aku menarik tudung jaket ke atas kepala untuk menyembunyikan wajah. Mengantisipasi masalah tambahan yang bisa saja muncul di kemudian hari. Dikenali seseorang di tempat asing seperti ini bukan pilihan yang bijak. Kakiku bergerak gelisah sementara jantungku berpacu cepat.

Tidak berapa lama kemudian seorang wanita paruh baya dengan setelan kebaya jenis kutu baru hitam dan jarik bermotif parang untuk menutupi kakinya muncul di ambang pintu. Selain bunga melati yang menghias sangul kecil di kepalanya, penampilannya serba gelap. Agak mengerikan hingga membuatku meneguk ludah. Aku tidak bisa memikirkan alasan apa pun kalau kunjungan ini dipertanyakan. Namun, ketakutanku tidak mewujud jadi nyata karena wanita itu tidak mengatakan apa pun. Bukannya bertanya soal kami yang berkunjung terlalu pagi, wanita itu malah menggeser tubuhnya seolah sedang memberikan celah agar kami bisa bergerak masuk.

Aku masih di luar ketika Alisia masuk. Wanita itu melirik ke arahku seolah meminta penjelasan. Aku juga memberikan isyarat samar kalau Alisia memang perlu menjelaskan banyak hal di sini sebelum masuk ke rumah itu. Sepertinya gadis itu paham apa yang kuminta makanya dia mendengkus.

"Biarkan dia masuk, dia yang akan membantu kita," ucap Alisia tiba-tiba/

Wanita itu mengangguk lalu membiarkanku masuk. Sementara itu, Alisia langsung berjalan masuk dan menjelajah tempat itu seolah kamarnya ada di salah satu ruangan itu. Aku tertatih mengikuti langkah kakinya.

"Hei, kita belum diziinkan masuk," bisikku pada Alisia.

"Kata siapa? Diizinkan kok."

"Tapi, Ibu itu belum bilang apa-apa," elakku sambil menoleh kembali ke arah pintu. Wanita itu sedang menutup pintu dan mengabaikan dua orang asing yang memaksa masuk ke dalam rumahnya.

"Ya, dia enggak akan bilang apa-apa juga. Kamu tenang saja!" Alisia kembali meyakinkanku.

Aku masih tidak yakin dan ingin kembali untuk berbicara dengan pemilik rumah lalu meminta izin. Namun, aku tidak lagi menemukan wanita itu di dekat pintu ketika aku menoleh. Ke mana perginya? Agak mengherankan, bagaimana bisa aku tidak mendengar langkah kakinya?

"Mau sampai kapan melamunnya?"

Pertanyaan Alisia membuatku langsung menatapnya. "Ma—maaf."

"Kalau sadar maka buruan jalan!" sahutnya ketus.

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now