35. SUDAH BERAKHIR

1.4K 234 34
                                    

35. SUDAH BERAKHIR

Anggi manggut-manggut dengan ekspresi santai. "Ohh... jadi Lo mau gue temenin Lo berobat gitu. Atau jangan-jangan Lo mau konsultasi sama gue lagi, sorry ya gue bukan psikolog."

"Bukan gitu," tekan Rigan. Raut mukanya tiba-tiba berubah serius. "Dulu gue bilang kalau gue punya masalah keluarga, kan? Dan Lo sendiri yang menawarkan diri buat jadi salah satu orang yang jadi tempat gue cerita." ucapnya. "Mungkin ini saatnya," Rigan tanpa permisi memegang tangan Anggi membawanya entah kemana.

Anggi yang masih bingung memilih diam dan mengikuti langkah Rigan entah kemana.

Mereka berhenti di depan pintu bercat putih dengan papan nama yang tertempel di kusen pintu bertuliskan, "Ruangan Teratai".

Apa cowok ini ingin menjenguk seseorang?

Rigan menarik nafas dalam-dalam lantas mulai memutar kenop pintu. Anggi sedikit terkejut saat melihat tiga orang dibalik ruangan menoleh serentak. Yang lebih membuatnya terkejut lagi ada Razael di sana. Cowok itu sedang berdiri di samping brankar pasien. Dan seseorang yang terbaring di sana adalah Isabella. Wanita itu tersenyum lemah ke-arah Anggi. Apa dia sakit keras?

"Rigan, mama senang akhirnya kamu mau datang," ucap Isabella serak.

Rigan tidak merespon apapun. Sedangkan Anggi mengikut arah tatapan Razael yang terus melihat tangannya. Ia baru sadar, lantas hendak melonggarkan tautan tangannya, namun Rigan justru menggenggamnya semakin erat seolah takut Anggi akan kabur.

Mahardhika menatap Rigan tidak suka. Anggi juga dapat melihatnya. Ada semburat emosi tertahan di sana. Ia yakin memang ada masalah serius di keluarga ini.

"Hidup," ucap Isabella tepat saat Anggi dan Rigan berdiri di samping brankar. "Hidup mama udah nggak lama lagi, sayang."

"Terus lo mau gue kasihani gitu," ucap Rigan dengan nada rendah namun penuh penekanan.

"Rigan!!" bentak Mahardhika murka. Semburat merah di wajahnya begitu terlihat jelas.

Tiba-tiba Razael berbisik di telinga Anggi sambil menggumankan sesuatu. "Kita keluar,"

Anggi ingin melepas cekalan Rigan yang begitu erat. "Lepasin gue," mungkin tidak seharusnya ia berada di tengah keluarga ini.

Rigan melirik ke samping, "siapa yang izinin lo keluar?"

"Uhuk!! Uhuk!! Uhuk!!" Isabella terbatuk-batuk sampai-sampai wajahnya berkeringat dingin. "Mama tidak menghianati persahabatan dengan mama kamu, Rigan. Tid—ak sepe—rti itu." ucapnya terbata. Mahardhika menghampiri. "Kamu tidak perlu memaksakan diri." Isabella menggeleng lemah. Ia benar-benar harus menceritakan ini. Harus!

Rigan tersenyum tipis, tidak habis pikir. "Mau bikin drama lagi, ha?"

"Lo nggak boleh ngomong gitu sama nyokap lo sendiri!" peringat Anggi.

"Dia bukan nyokap gue!"

Anggi menghela. Berbicara dengan Rigan sama saja berbicara dengan batu. "Seenggaknya Lo kasih dia kesempatan buat ngomong," akhirnya usahanya berhasil melepaskan tangannya dari genggaman tangan Rigan.

Ia mendekati Isabella. "Tante, nggak usah dengerin apa yang Rigan bilang. Dia sinting."

Rigan melotot sedangkan Isabella tersenyum tipis. "Hidup Tante udah nggak lama lagi. Tante cuma mau mengungkap fakta yang sebenarnya tentang mama kandung Rigan. Tante takut sebelum itu, tante udah pergi. Tante nggak mau menyesal."

Anggi menoleh pada Rigan yang terdiam tanpa ekspresi. "Ya, udah kalau gitu saya keluar, ya tante."

"Kamu di sini aja nggak papa, kok tante seneng." balas Isabella.

CHANGEOVERWhere stories live. Discover now