Epilogue

43 9 7
                                    

Dua bulan kemudian setelah acara kelulusan selesai Dara melangkah masuk dengan peluh yang mengalir deras di dahi. Tersenyum senang setelah membuka pintu kaca lebar-lebar, sementara seorang Pria yang dia kenal bergeming di depan kasir, lalu menoleh saat melihat kedatangannya.

"Akhirnya." Ri El meletakkan karton yang sejak tadi dia dekap dan segera memeriksa barang belanjaan.

Alex menggeleng pelan akan kedatangan mereka. Tidak ada kalimat sambutan seperti biasa. Tatapan itu justru terlihat kesal dari sini. "Kenapa lama sekali?"

Ri El menoleh dengan suara desis, "Kau seperti tidak kenal wanita saja!"

"Bukan begitu, lihat ke sana."  Alex menatap ujung cafe. Mereka berdua melakukan hal yang sama, dan mendapati Kian di sana. Tertidur pulas di sofa dengan selimut yang membalut tubuhnya.

Dara berbisik, "Kapan dia kemari?"

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, padahal kedua Gadis itu keluar dari Morning florist sejak pukul dua belas. Wajar saja Kian tertidur di sana. Menunggu sang kekasih yang tak kunjung tiba. Alex memutar bola mata. "Beberapa jam setelah kalian keluar dari sini. Itu cukup lama, dia bahkan sempat membantuku sebelum terlelap."

Dara tersenyum kecut, kemudian perlahan mendekat, dan duduk di sebelahnya. Diusap kepala Kian penuh kasih. Wajah itu terlihat damai. Tidak lama sang Malaikat maut terjaga dari tidur, lalu terkerjap dengan senyum merekah saat melihat Gadisnya telah kembali.

"Aku merindukanmu," gumamnya, lalu merengkuh tubuh Dara erat.

Dara terkekeh geli. "Aku hanya pergi sebentar saja."

"Ayo keluar." Kian bangkit mengengam lembut tangannya.

"Ke mana?" tanya Dara mengikuti langkahnya.

Mereka berdua tertahan di depan pintu kaca, Kian menoleh pada Dara. Bola mata dengan iris biru itu berputar. Tidak tau ke mana akan membawa sang kekasih pergi. "Tempat yang aku janjikan padamu sebulan yang lalu." Dara menganguk paham. Ri El dan Alex bergeming menatap mereka berdua dengan senyuman.

"Ahh," sahut Dara mengerti.

"Kami pergi," ucap Kian berpamitan.

Ri El menggerakkan tangan ke udara beberapa kali. Mengusir mereka berdua dengan paksa, sebab Kian dan Dara jarang sekali berkecan setelah hubungan mereka berlangsung selama dua bulan penuh.

"Ya bersenang-senanglah, aku muak melihat keromantisan kalian di sini," usir Ri El.

Kian tergelak mendengarnya, dia mengangguk pelan, setuju bahwa kalimat itu memang ditujukan untuknya. Alex ikut tersenyum tidak dapat berkomentar.

***

Mereka sampai di depan gerbang usang yang berkarat. Tanaman rambat menjalar hampir di semua pagar. Dara ingat selalu datang ke tempat ini untuk menenangkan diri setiap kali bertengkar dengan sang bibik, mungkin hal itu tidak akan pernah lagi dia lakukan.

"Kau ingat tempat ini?" gumam Dara tertegun. Tidak percaya jika Kian masih ingat dengan tempat ini.

"Tentu saja-" Kalimat Kian tertahan saat Dara menitikan air mata di sebrang kursi kemudi. Setelah mengumpulkan keberanian, tangannya perlahan turun untuk mengusap pucuk kepala Dara dengan lembut. "Aku tidak mungkin melupakan tempat ini begitu saja, kan?"

Dara menyeka air mata tanpa sadar jika kekasihnya telah menatapnya legam. Kagum atas kecantikan sang pujaan hati, bibir merah itu membuat Kian mengecap. Tidak sadar, jika hal yang dia lakukan cukup membuat Dara tersipu.

"Ada apa?" Kian menggeleng.

"Kau cantik sekali." Tangannya menyingkirkan helaian surai yang sedikit menghalangi wajah. Pipi Dara merona menerima perlakuan manis darinya yang jujur saja membuat jantung Dara bertabuh. Mata Kian bergulir pada liontin yang masih mengalung di lehernya. "Liontin itu."

Dandeliar ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang