Dandelion 49

23 24 0
                                    

"Hai apa kabarmu hari ini?" Kalimat pembuka yang aneh.

"Ba-baik!" Dara mengeryit berusaha menahan senyum yang ingin lolos. Padahal dia sudah dua kali mendengar kalimat itu saat di kelas dan kini Kian kembali mengucapkannya. "Ada apa denganmu. Apa kau sakit?"

Kian berfikir sejenak. "Ada apa. Tidak ada, aku hanya menyapamu saja. Apa itu salah?"

Dara tersenyum heran. "Tidak, hanya saja kau sudah mengucapkan kalimat itu tiga kali hari ini. Tidak kah kau bosan?"

Bola mata Kian berputar mencoba mengingat kembali. "Aku tidak ingat. Lagi pula, aku kan harus bersikap sopan kepada guruku." Kian menampakkan deretan gigi putih itu pada Dara. Senyum yang tidak pernah dia lihat sebelumnya, itu justru terlihat aneh.

"Guru?" Dara menunjuk dirinya sendiri tidak percaya. Dia hanya mengajarinya selama beberapa menit di dalam perpustakaan dan Kian sudah memanggilnya dengan sebutan itu. "Berarti aku bukan superhero lagi?"

Kian menganguk. "Iya, kau adalah guru dan superhero."

Dara mengedik acuh dan memilih mendudukan diri. Dia segera mengeluarkan pena di dalam tas untuk memulai pelajaran.

"Ayo mulai!" ucap Kian lebih antusias dari biasanya, entah karena dia memang tidak sabar mendapat soal dari Dara atau ingin cepat pulang sebab tidak akan mengerti nantinya.

Dara menuliskan lima soal ke dalam buku miliknya. Namun, tidak seperti biasanya, Kian tidak berkomentar apapun saat dia mendapatkan soal lebih banyak. Dara bangkit seperti biasa ingin mengambil novel, tapi dia menoleh saat Kian menyodorkan novel yang selalu dia baca sudah tergeletak rapih di atas meja.

"Aku sudah mengambilkannya untukmu, agar kau tidak perlu susah payah mencarinya." Dara terpaku, diliriknya novel yang dia baca beberapa hari terakhir saat menunggu Kian menggerjakan semua soal yang dia berikan. "Kenapa. Apa aku salah mengambil novel untukmu?"

"Ah, tidak." Dara menggeleng dan kembali mendudukan diri, lalu membuka lembar novel yang telah dia baca sebelumnya. Dara kembali melirik ke arah Kian yang mulai fokus mengerjakan soal. "Terima kasih!"

"Tidak masalah, oh iya. Aku hampir lupa, aku punya sesuatu untukmu!" balasnya, kemudian Kian berhenti dan mengambil sesuatu yang ada di bawah meja. Benda yang sudah dia siapkan sejak kemarin.

"Sesuatu?" Dara bertanya-tanya apakah sesuatu yang dia bawakan untuknya itu. Apakah sebuah permata, atau benda mahal lain.

Kian menyodorkan Dara sebuah boneka kucing berbulu yang masih berbalut plastik putih transparan. Dara terkejut bukan main melihatnya, itu adalah boneka yang dia inginkan sejak lama. Boneka yang ada di dalam mesin boneka. Entah bagaimana malaikat maut itu mendapatkannya. Namun, Dara segera meraih boneka itu dan memeluknya erat.

Dibuka plastik yang membalut boneka. "Wah, sangat lembut. Ini seperti apa yang kubayangkan selama ini."

Kian terkekeh kala melihat tingkah menggemaskan Dara. Gadis itu bahkan tidak melepas pelukan pada bonekanya.

"Ada apa?" tanya Dara dengan mata menyipit saat mendapati Kian menatapnya tanpa kata.

Kian tekerjap, bola matanya berputar. "Tidak ada."

"Kerjakan soalnya, nanti waktumu habis jika terlalu banyak berdiam diri," titah Dara mengingatkan. Setelah Kian menunduk dia lupa mengucapkan terima kasih pada Kian.

"Ngomong-ngomong, terima kasih untuk bonekanya."

"Apa kau menyukainya?" tanya Kian.

Dara menganguk. "Ya, sangat suka." Sebuah pertanyaan muncul di dalam kepalanya saat dia ingat bahwa Alex menghabiskan dua puluh koin untuk mendapatkan boneka ini, tapi boneka ini tidak tersentuh sama sekali olehnya. Bagaimana bisa Kian mendapatkan boneka ini dengan mudah. "Bagaimana caranya kau mendapakan ini?" tanya Dara penasaran.

Dandeliar ✔Where stories live. Discover now