Dandelion 44

13 22 1
                                    

Kian mengulum senyum dari sebrang meja, entah mengapa malaikat maut itu seperti anak yang gemar belajar sekarang. Padahal selama guru menerangkan di dalam kelas Kian tertidur, hampir di semua mata pelajar. Namun, kini? Dara pun sampai terheran dibuatnya. Dia terlihat sangat berbeda, apa Kian sengaja melakukannya agar dia cukup tidur saat les bersama Dara.

"Wah lihat siapa ini?" ucap Dara seraya menggeleng pelan. Tidak menyangka dengan penampilan Kian yang tidak ada perubahan sama sekali di mata Dara.

"Bagaimana penampilanku? Apakah aku terlihat lebih tampan saat mengenakan ini?" tanya Kian penasaran dengan penampilan barunya, sebab dia sengaja mencari kacamata dengan kualitas terbaik agar matanya tidak sakit saat belajar bersama Dara. Bayangkan saja, bagaimana dia bisa memikirkan hal itu secepatnya, setelah tau bahwa teman belajarnya adalah Dara. Kian tidak melewatkan kesempatan untuk jadi lebih dekat dengannya.

Dara menatap Kian mencoba meneliti kacamata yang sedang dia pakai, bisa dia tebak benda bening itu berharga jutaan meskipun tidak terlihat mewah sama sekali jika dilihat sekilas. "Biasa saja, tidak ada yang berubah," balas Dara mengomentari. Dia justru semakin jengah saat menatap Pria di depannya. "Untuk apa kau membeli kacamata?"

Bola mata Kian bergulir sekilas berusaha mencari jawaban atas pertanyaan Dara barusan. "Tentu saja agar mataku tidak sakit saat belajar denganmu."

"Sakit?" ucap Dara tidak menyangka, bagaimana bisa belajar empat puluh menit yang di selingi dengan melamun dapat menyebabkan matamu menjadi sakit, sungguh alasan yang baik untuk menghabiskan uang. "Luar biasa, aku belajar berjam-jam, lalu bekerja dua jam di tempat berbeda, dan menghabiskan tiga puluh menit di depan komputer untuk melakukan pembukuan sebelum tidur dan kau ...." Kalimat Dara tertahan dengan tangan mengambang di udara sembari menjelaskan keluh kesahnya.

'Sangat manja, lebih baik kau berikan seluruh uang untuk membeli kacamata itu padaku.' Dara membatin dengan sebal.

"Kau?" ucap Kian menimpali kalimat Dara yang rumpang tersebut.

"Lupakan!" Dara memilih duduk di kursi. Dia menarik nafas dalam-dalam, sebab sebentar lagi kesabarannya akan di uji, sementara Pria di depannya justru tersenyum senang.

"Baik, kita mulai dari mana?"

Dara sungguh geram dengan semua kata-kata yang keluar dari mulut kotor Kian, ingin rasanya dia menyumpal toa besar miliknya itu agar dia bungkam untuk sesaat. Rasanya masalah hidup Dara semakin bertambah banyak saja dari hari ke hari.

"Aku akan memberimu soal yang sama seperti kemarin, setelah kau berhasil mengerjakannya kita akan beralih ke soal berikutnya." Kian menganguk tanpa bantahan, seperti bocah sekolah dasar yang baru diajarkan baca dan tulis. Dia mendengarkan semua intruksi yang diberikan oleh Dara, meskipun terkadang ada pertanyaan dari dirinya membuat Dara geram. "Kerjakan dengan baik, sebab aku tidak mau waktuku terbuang percumah untuk mengajarimu."

Kian melirik saat Dara bangkit dari kursinya, bertanya-tanya dalam hati kenapa Gadis itu melakukannya. "Kau mau kemana?"

Dara mendengus kesal, berfikir kenapa dia harus mengajari Kian secara tidak seperti ini. "Kemana lagi, tentu saja mencari novel untukku baca, karena-"

"Menunggumu itu sangat membosankan!" jawab Kian dengan cepat, memotong kalimat yang akan Dara ucapkan. Gadis itu terdiam dengan anggukan kecil, lalu menyingkir dari sana. Ada sesuatu yang terasa merobek hatinya, Kian belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.

Dara terdiam, detak jantungnya merasa aneh saat melihat ekspresi Kian tadi. Ada rasa sesal yang hadir saat dia mengucapkan kalimat itu padanya. 'Apa aku keterlaluan mengatakan hal itu padanya?' Dara memberanikan diri untuk coba melirik Kian dari rak yang berada cukup jauh dari tempat duduk mereka. Malaikat maut itu masih sibuk berkutat dengan soal yang Dara berikan.

Dandeliar ✔Where stories live. Discover now