Dandelion 51

22 20 0
                                    

"Maaf, apa kau menunggu terlalu lama?" ucap Kian dengan nafas tersengal. Bahkan malaikat maut itu membuat Dara geram, karena kepalanya terus bergerak dan itu jelas menyulitkannya yang sedang membersihkan darah di sudut bibir.

"Bisakah kau diam, aku tidak bisa membersihkan lukamu jika begini!" titah Dara.

Syukurlah dia sempat membeli tisu baru tadi jadi dirinya bisa membantu Kian. "Iya-iya."

Kian menurut dengan tidak bergerak. Namun, mata itu tidak bisa berbohong. Dia sungguh risih saat tangan Dara menekan lembut sudut bibirnya dengan keadaan jantung yang berdegup kencang. Kian coba sebisa mungkin bersikap tenang.

"Kenapa bisa seperti ini?" tanya Dara yang tidak malaikat maut itu hiraukan. Matanya bergulir dan mendapati manik mata biru itu mengarah padanya.

Kian mengerjap, kedua manik mata biru itu bergulir tidak dapat menjawab pertanyaan yang sudah ada alsannya. Berfikir lebih baik dia berbohong  pada Dara dari pada memberitahukan kejadian sebenarnya.

"Ah, itu." Kalimatnya tertahan saat tidak menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Dara. "Aku terjatuh." Kian terkekeh pelan berharap Dara percaya pada ucapannya.

Dara mengeryit. "Jatuh?"

Ditatap mata Kian dalam-dalam seraya menyipit hingga Pria di depannya merasa terintimidasi oleh tatapannya. Kian meneguk ludahnya kasar. "Kenapa. Kau tidak percaya?"

Dara tersenyum dengan anggukan kecil, dia tidak percaya begitu saja dengan ucapannya. Jelas sekali luka yang Kian dapat bukanlah luka biasa. Mungkin Kian terjatuh dengan bagian wajah yang menyentuh tanah terlebih dahulu.

Dara bangkit setelah membersihkan luka yang Kian dapat, matanya bergulir coba mengecek jalanan barangkali ada mobil bus lain yang bisa mengantarkannya untuk pulang.

"Itu adalah bus yang terakhir!" ucap Kian mengingatkan.

Dara menoleh dengan dengusan pelan, dia tau itu adalah sebuah kesalahan, kenapa dia bisa lupa jika mobil bus itu adalah bus terakhir. Seharusnya dia mengajak malaikat maut itu untuk naik bus dan mengobati lukanya di dalam sana bukannya malah tertahan di sini.

Dara mendelik. "Aku tau, menyebalkan!"

Kian bangkit, tangan kirinya masih menekan tisu yang menempel di sudut bibirnya. "Jadi bagaimana?"

Dara mengedik tidak punya pilihan lain selain jalan kaki untuk sampai ke rumahnya. "Mau bagaimana lagi." Gadis itu berjalan meninggalkan Kian di belakang sana yang masih bergeming menatapnya.

Kian menghampiri Dara dan merebut tas yang sedang dia jinjing. "Biar aku yang bawa!"

Udara malam itu tidak begitu dingin seperti biasanya. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk jalan kaki ke rumah Dara.

"Kenapa kau tidak membawa mobilmu?"

"Aku malas, terlalu sering naik mobil akan membuat tubuhmu tidak sehat!"

Dara melipat lengannya di dada. Ucapan Kian barusan sangat tidak menyangkut dengan kehidupannya yang mewah.

"Aku tidak yakin!" Dara menimpali tidak percaya.

Mereka terdiam selama beberapa detik. "Aku tadi mengirimkanmu pesan, kenapa tidak kau balas?" tanya Kian suara Pria itu mengakhiri bising angin malam yang menerpa telinga.

Dara bungkam selama beberapa detik. "Aku pikir kau hanya iseng saja."

Kian menoleh tidak percaya, kenapa Dara bisa berpikir seperti itu. "Kau yakin tidak membalas pesanku hanya, karena itu?"

"Ya." Dara melirik saat dia ingat akan ada ujian matematika minggu depan yang di dengar dari para guru. "Ohh, iya. Akan ada ujian matematika minggu depan. Kuharap kau dapat mengerjakannya dengan baik. Aku tidak memaksamu untuk dapat nilai sempurna, jadi berusaha lah!"

Dandeliar ✔Where stories live. Discover now