Why Are You Crying?

764 187 34
                                    

Tiga hari berlalu setelah pertemuanku dengan Minho di pagi itu, tapi hingga kini aku tak juga bisa melupakan senyuman di wajahnya saat memelukku. Terlihat jelas jika di balik lengkungan kurvanya ada rasa sakit dan sedih yang ia sembunyikan diam-diam.

Hari ini hujan turun tak ada hentinya. Pekarangan belakang rumah Changbin yang biasanya dijadikan tempatku dan Umo bermain nampak becek. Genangan air di sana-sini. Suara gemuruh guntur sesekali akan bersatu dengan suara desir angin yang meruntuhkan dendaunan kuning di pohon. Awan gelap tak bersahabat, menyembunyikan sinar panas mentari sejak pagi tadi, dan hatiku terus merasa gelisah.

"Kamu gak bosan, Chan?" Umo datang mendekat, duduk di sisi jendela di mana aku melamun sejak tadi. "Aku ingin main bola di luar, tapi hujan tak juga berhenti. Aku bosan," gerutunya kemudian yang sayangnya tak kuhiraukan.

Maaf, tapi aku sungguh tak ingin diganggu saat ini karena entah kenapa rasanya hatiku begitu gundah. Perasaan tak enak kian menjadi, seperti akan ada hal buruk yang akan terjadi.

"Mama Changbin tadi memanggang sosis, dia memberiku satu. Dia juga tadi memanggilmu, tapi kamu gak datang, jadi sosisnya aku yang makan," celoteh Umo lagi, tak henti walaupun tak ada tanggapan sama sekali.

Sampai akhirnya aku menoleh dan bertanya padanya, "di mana Changbin? Aku tak melihatnya sejak semalam."

Umo lantas menggeleng pelan, menjawab, "entahlah. Aku juga tadi mencarinya, tapi dia tidak ada di kamar. Mungkin dia pergi bekerja."

Sejak semalam bekerja? Sungguh? Aku tidak yakin. Meskipun aku belum lama tinggal di sini, namun aku sudah cukup hapal akan kebiasaan majikan si Umo ini. Dia takkan menghilang secara tiba-tiba tanpa memberikan kabar sama sekali.

Hatiku semakin gelisah kini. Ya, Tuhan ... ada apa sebenarnya?

Aku berusaha mengabaikan perasaanku sendiri, kubaringkan kepalaku di atas bantalan sofa dengan niat semoga saja aku bisa tidur dan bermimpi indah setelahnya. Tapi sepertinya memang bukan itu yang akan terjadi, karena mendadak kudengar dari kejauhan ada suara Changbin yang tengah berbicara dengan ibunya dengan terisak-isak. Aku juga melihat bayangannya yang memeluk tubuh sang ibu.

"Ada apa? Kenapa dia menangis?" Umo mendadak berbisik ke arahku.

"Harusnya aku yang menanyakan itu padamu, kenapa dia menangis? Apa ayahnya masuk Rumah Sakit lagi?" balasku.

"Ah? Tidak tuh, ayahnya Abin kulihat tadi pagi ada lagi ngopi di depan kamar mandi."

Maksudmu apa, Umo?

Aku meliriknya sekilas, ingin tertawa sebenarnya. Tapi Changbin mendadak datang dan berjongkok di depan kami. Tubuhnya separuh basah karena terguyur hujan, dan kedua matanya nampak memerah.

"Chan ..." panggilnya pelan sembari mengusap air mata dengan punggung tangannya. Ia lantas tersenyum getir sesaat sebelum merengkuh tubuhku. Memelukku.

"Hei? Kenapa kau menangis?" tanyaku, walau yang terdengar hanya suara menggumam sendu.

Changbin melepaskan pelukannya, ia merunduk dengan tangan kembali sibuk mengusap wajahnya yang basah. Tapi setelah itu bibirnya kembali berucap pelan padaku, "kupikir, kau juga ingin tahu tentang penyakit Minho, bukan?"

"Ya! Katakan padaku, dia sakit apa sebenarnya," jawabku segera.

Changbin terdiam, ia menarik napas panjang lalu melirik ke arah jendela di mana masih banyak butiran air hujan yang sibuk menabraki kaca. "Minho terkena kanker hati, Chan," lirihnya.

"Apa?!" Aku memekik karena kaget. "Kenapa kau baru memberitahuku?!"

"Sudah setahun dia mengidap penyakit itu, tapi aku baru tahu ketika dia pingsan di taman saat kita jalan bersama." Aku melihat ada linangan air mata yang diteteskannya, walau pada detik itu juga segera dia hapuskan.

"Dia menutupi semua itu sendirian, memendamnya tanpa ada yang tahu sama sekali. Dia berjuang melawan penyakitnya sendiri tanpa mau memberitahuku hanya karena tak ingin membuatku cemas. Dia egois sekali, 'kan?" sambungnya.

"Tapi ..." Changbin menarik napas panjang berusaha mencari kekuatan agar bisa melanjutkan kalimatnya, meskipun lelehan air mata di pipinya itu tak juga berhenti layaknya hujan yang tengah menderai bumi saat ini. "Sekarang dia udah gak sakit lagi. Dia gak akan ngerasain semua sakitnya lagi karena Tuhan sudah mengobatinya," ucapnya dengan suara terdengar gemetar.

"Apa?! Maksudmu apa?!" Aku refleks memundurkan tubuhku dan menatap nanar wajahnya. "Aku tak mengerti ucapanmu!"

Changbin tersenyum getir di antara isak tangisnya yang kembali terdengar. "Dia sudah pulang ke pangkuan Tuhan siang tadi, Chan."

Kalimat itupun spontan membuatku berteriak kencang kepadanya, "APA?! GAK MUNGKIN! BAGAIMANA BISA?! KAU BILANG JIKA AKU MENDOAKANNYA, DIA AKAN SEMBUH! KAU BILANG TUHAN AKAN MENGABULKAN DOA HEWAN SEPERTIKU! KENAPA MALAH DIA JADI DIBAWA PERGI?! KENAPA TUHAN TAK ADIL?! KENAPA KAU MEMBOHONGIKU, CHANGBIN! KENAPA KAU BOHONG PADAKU!"

Aku kaget, begitu kecewa mendengar apa yang disampaikannya hingga tubuhku terus mundur menyentuh dinding dan menggonggong kencang tanpa henti. Tak kurasa saat itu juga aku meneteskan air mata ke pipiku. Aku menangis untuk pertama kalinya.

Changbin tertunduk, bahunya berguncang hebat dan tangisannya semakin pecah. "Maaf, Chan ... maafkan aku, aku tak bisa menolongnya, aku tak bisa membawanya kembali pulang seperti yang kau inginkan. Maafkan aku, Chan ...."

Aku benci! Aku benci hari ini!

Apakah ini alasan hujan tak juga berhenti turun sejak pagi tadi?! Inikah alasan kenapa angin terus bertiup dengan kencang sekali?! Karena dia sudah pergi?! Karena Tuhan telah memanggilnya untuk kembali?!

Minho ... kenapa jadi begini? Kenapa kau tega pergi meninggalkanku. Kenapa aku sendirian lagi?
















 Kenapa aku sendirian lagi?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
SiberiChan ✓ [Banginho] (Sudah Dibukukan)Where stories live. Discover now