Ice Cream

692 192 9
                                    

Minho segera dibawa Changbin ke Rumah Sakit terdekat, sedangkan aku dan Umo duduk diam di dalam mobil berdua, menunggu. Syukurnya Changbin tak mematikan AC hingga udaranya tak panas dan pengap.

"Dia sakit apa?" tanya Umo, dan aku hanya menggeleng pelan.

"Aku gak tau, dia baik-baik aja sebelum ini," jawabku.

"Hidungnya berdarah, apa kamu menggigitnya?"

Ucapan Umo barusan sukses membuatku seketika menoleh ke arahnya dan menjawab, "apa kau melihat kemungkinan aku akan melakukan hal itu padanya?"

Umo pun nampak terkekeh pelan, "aku cuma becanda, Chan. Kamu kelihatan sayang banget sama Minho, sama kayak aku dengan Abin," katanya.

Kalimat Umo tak kutanggapi selain diam dan kembali membaringkan kepalaku di jok mobil. Dia benar, aku sangat sayang dengan Minho, sama sepertinya dengan Changbin. Tapi, Minho sakit dan aku gak ada di sampingnya. Aku juga gak bisa melakukan apa-apa selain menunggu di sini.

Cklek!

Mendadak pintu terbuka dan Changbin muncul di sana sembari tersenyum-terpaksa-pada kami. "Kalian tidak berkelahi lagi 'kan?" tanyanya sembari duduk di balik kursi kemudi lalu memakai sabuk pengaman.

"Tidak!" Umo menggonggong sekali menyahutinya.

"Hei, Bin! Mana Minho? Apa dia baik-baik saja? Kenapa kau kembali sendirian?" tanyaku tak sabaran.

Changbin melirik kaca spion tengah, melihatku dari pantulan cerminnya sebelum balik bertanya, "hei, Chan. Apa kau menggeluarkan suara menggerutu seperti itu tandanya kau sedang menanyakan Minho padaku?"

'guk!'

"Oh, ha ha ... baiklah, aku paham," ia terkekeh pelan saat aku menggonggong dengan kencang. Tapi, setelah itu wajahnya kembali terlihat murung, dan ia terdiam cukup lama memandangku dengan mata teduhnya.

"Dia cuma kelelahan, Chan. Dokter bilang darahnya rendah, dan ia kurang tidur. Jadi, untuk sementara waktu ia harus istirahat dulu di dalam," katanya sambil tersenyum tipis. Ada hembusan napas lelah yang kudengar dikeluarkannya, ia lantas melirik ke arah jam tangan dan menatap langit setelah itu.

"Belum sore," gumamnya. Aku dan Umo refleks melihat ke luar juga. Langit masih biru, namun matahari sudah bergerak mendekati arah barat. Biar kutebak, sepertinya jam baru menunjukan kisaran pukul tiga atau setengah empat sore saat ini.

"Kalian mau makan ice cream?" tanyanya tiba-tiba, dan Umo memekik girang seketika. "Ha ha ha ... Umo, kamu semangat banget kalau bagian makan itu, ya?! Baiklah, ayo kita ke kedai ice cream sekarang," katanya dan mobil itupun kembali bergerak, keluar dari Rumah Sakit, membelah jalanan, menuju kedai ice cream yang Changbin gandang-gandang punya rasa terbaik di kota ini.

Aku senang, tapi juga sedih secara bersamaan.

Sekitar lima belas menitan—mungkin—akhirnya kami pun tiba di sebuah bangunan unik dengan cat warna-warni menghiasi dindingnya. Banyak sekali orang yang berlalu lalang di sekitaran, dan Changbin segera membawaku serta Umo untuk memesan lewat jendela kecil di sisi bangunan.

"Kita gak bisa makan di dalam, jadi kita makannya di halaman belakang kedai aja, ya?" ucapnya. Aku setuju, dan Umo mengangguk-anggukan kepalanya mengiyakan.

Setelah sibuk menunggu pesanan, akhirnya kami pun memilih untuk duduk di atas rumput hijau; dengan Changbin memegangi dua cone ice cream di tangan kirinya, sedangkan tangan kanan sibuk memegang miliknya sendiri.

Aku suka ice cream coklat, tapi Umo lebih memilih yang rasa strawberry. Sedangkan Changbin sendiri menikmati rasa vanila dengan sesekali mengajak kami bicara.

"Kalian tahu?" tanyanya sambil menghabiskan cone sisa yang dengan sekali lahap ia kunyah. Aku dan Umo refleks menoleh memandangnya. "Sejak kecil aku dan ayahku sering datang ke sini, dan duduk di sini juga. Kami biasanya menikmati ice cream sembari menghitung mobil yang lewat di jalanan sana," urainya, bercerita.

Aku dan Umo duduk bersama mendengarkan ceritanya. Ia lantas tertawa kecil sembari mengusak kepala kami, "itu dulu, sebelum aku masuk SMA, dan beliau sibuk dengan pekerjaannya. Tapi, sekarang aku justru kembali ke sini dengan kalian berdua. Ini tidak buruk, aku menyukainya," lanjutnya.

Changbin bicara banyak padaku dan Umo, menceritakan kisah-kisah ringan tentang ia kecil dulu, atau saat pertama kali mengadopsi Umo, dan juga banyak lagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Changbin bicara banyak padaku dan Umo, menceritakan kisah-kisah ringan tentang ia kecil dulu, atau saat pertama kali mengadopsi Umo, dan juga banyak lagi. Sampai tak terasa waktu berlalu begitu cepat, dan kami pun beranjak untuk pulang.

"Ah, iya ... Channie, sepertinya Minho belum bisa kembali ke rumah. Ia masih harus istirahat di Rumah Sakit, setidaknya sampai ia kembali sehat. Jadi, sementara waktu kau pulang ke rumahku dulu, ya?" ujar Changbin saat kami berada di perjalanan.

"Apa aku akan masuk ke dalam kandang lagi bersamamu?" tanyaku pada Umo.

"Kau pikir Changbin akan melakukan itu?" Tapi Umo malah balas melempar pertanyaan padaku.

Aku mengedik bahu pelan, "asal kau tak mengompol lagi," jawabku.

"Jangan bodoh! Kau takkan melihat kandang anjing kecil seperti di rumah Minho jika di rumah Changbin!" hentaknya.

"Kau menghina rumah majikanku, huh?!" Aku menggeram, dan Umo mundur seketika, pun juga Changbin yang langsung melirik ke arah spion tengah hanya untuk memastikan jika kami tak berkelahi lagi.

"Bukan begitu!" bantahnya.

"Hei! Kalian jangan berkelahi di jalan jika tak ingin masuk ke dalam Rumah Sakit juga seperti Minho!"

Aku segera memalingkan wajah memandang ke luar, ke jalanan yang terlihat semakin ramai. Hhhh ... Aku ingin sayangku cepat pulang.






























 Aku ingin sayangku cepat pulang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Happy weekend :))

SiberiChan ✓ [Banginho] (Sudah Dibukukan)Where stories live. Discover now