33. Kacau

32.4K 5.7K 597
                                    

Nulis part ginian lebih berad rasanya. Hm.

✨✨

Selesai mengancingkan kemeja, Bagus menatapi diri di cermin. Ia hampir tidak pernah berdiam depan cermin. Biasanya hanya memastikan penampilannya baik, lalu sudah. Tapi kali ini tatapannya beradu pada sepasang mata yang menyorot datar, tanpa ekspresi sedikit pun yang ditampilkan.

Seseorang yang menatapnya balik dari cermin itu terlihat baik-baik saja meski gurat kelelahannya tergambar jelas di wajahnya. Apa sedari dulu begini? Apa memang tatapannya dari dulu seolah tidak ada harapan di sana?

Lalu perlahan tatapnya berganti sendu. Muram. Bagus sadar, selama ini memang ia tidak ada harapan akan hidup. Ia baru sadar betapa berharganya waktu yang telah ia sia-siakan belasan tahun ini. Terkadang penyesalannya memang masih pekat, tapi harapan akan masa depan baginya lebih pantas untuk diperjuangkan.

Bagus memfokuskan tatapnya pada penampilan dirinya di cermin. Kapan terakhir kali ia memperhatikan dirinya sendiri? Mungkin tidak pernah.

"Gantengnya kalo senyum gitu."

Tanpa sadar Bagus terkekeh mengingatnya. Selalu hanya Anin yang berhasil membuat hatinya terasa lebih hidup. Bukan tidak pernah dipuji, mungkin pernah, mungkin tidak. Tapi Bagus selalu mengabaikan orang-orang. Dan saat Anin yang mengatakannya entah kenapa berhasil membuatnya senang sampai salah tingkah.

Bagus memperhatikan wajahnya di cermin saat ia tersenyum. Ya, mulai ada harapan di sana. Bukan lagi tatap datar apalagi sendu dan muram. Ternyata, ia memang tergolong tampan. Bagus tertawa kecil menyadari kepercayaan dirinya yang seolah kembali muncul sekarang.

Menghela napas pelan, Bagus masih mempertahankan senyum kecil di bibirnya. Ternyata melangkah dengan kepercayaan diri begitu membuat bebannya seolah luruh. Ia merasa lebih ringan.

Sembari melangkah menuruni tangga, Bagus menyentuh gelang di lengan kanannya.

"Kamu tau nggak arti gelang hitam buat cowok? Artinya udah ada yang punya. Kode buat cewek aja sih. Para cewek tau mana yang boleh dimangsa mana yang enggak."

Mereka memang sudah tidak bersama. Tapi Bagus masih mengenakan gelang itu. Bukan karena ia tidak menganggap hubungan mereka belum berakhir, tapi memang ia masih merasa termiliki. Hatinya masih termiliki oleh perempuan itu.

Langkah Bagus sampai di dapur rumah Dara. Ia lihat kakaknya sedang masak berdua dengan Panji. Saling melempar candaan dan itu membuatnya tersenyum. Ia bahkan baru sadar bahwa kebahagiaan kakaknya sungguh berarti untuknya. Ia bersyukur Dara menemukan kebahagiaannya.

"Mbak." Bagus menginterupsi.

Pasangan suami istri itu menoleh bersamaan. Keduanya tersenyum. Ah, andai Bagus menyadarinya sejak dulu, pasti kebahagiaan itu bisa menular padanya. Seperti sekarang. Dan ia merasa bersyukur akan itu.

"Iya, Gus? Pagi-pagi udah rapi banget." Dara tersenyum dan mendekat ke adiknya.

"Mbak Dara udah hubungi Bu Bekti?"

Dara seperti baru sadar dan menepuk dahinya pelan. "Mbak lupa. Kamu mau hubungi sendiri atau lewat Mbak aja?"

"Mbak aja," jawab Bagus sebenarnya tidak enak hati. Tapi ia memang belum terlalu terbiasa mengirim pesan dengan orang lain.

Dara mengangguk. Ia berbalik lagi menyelesaikan masakan sebelum menuangkan ke mangkuk. Suara panggilan Qia dari arah kamar membuat ketiganya mengalihkan pandang ke asal suara.

"Biar aku yang nemuin Qia." Panji menawarkan diri lalu berjalan ke arah kamar.

Dara selesai dengan pekerjaannya lalu kembali ke Bagus. "Mbak udah hubungi minggu lalu. Bu Bekti udah ngiyain tapi katanya kamu nggak jadi ya?"

GlowApp (Aplikasi Cari Jodoh)Where stories live. Discover now