21. Test Drive

46.4K 7.2K 1.4K
                                    

"Oy, Nin. Denger-denger jadian sama Bagus. Bener?"

Anin menoleh ke sebelahnya. "Kenapa, Tom?"

Tomi, si penanya itu berdecak. "Enak amat ya si Bagus jodohnya kayak elo. Bisa-bisanya. Pake pelet apa dia."

Sontak tatapan Anin terarah ke kursi paling ujung. Ada Bagus dan Bayu yang sedang terlibat pembicaraan cukup serius. Mereka memang sedang berada di depan kantor jurusan. Perkuliahan semester pendek usai dan kebanyakan mahasiswa datang ke kajur untuk mengurusi perihal semester depan.

"Lo ngomongnya kebalik, Tom," kata Anin sambil tertawa. "Yang ada orang pada nuduh gue yang pake pelet."

"Masa?" Tomi mengernyit heran. "Kami mah kaum cowok anggep yang beruntung si Bagus."

"Salah," sentak Anin langsung. "Gue yang beruntung dapet dia tau. Lo nggak tau sih kalo patung udah hidup."

"Nakutin amat." Tomi bergidik ngeri.

Anin tertawa. Tapi terhenti saat merasakan sentuhan di lengannya. Ia mendongak dan lihat Bagus sudah di dekatnya, memintanya berdiri.

"Pulang," kata Bagus pada Anin, walau tatapannya terarah ke Tomi.

"Udah selesai emang?" Anin belum menyadari kalau tatapan Bagus menajam.

Bagus mengangguk kaku.

"Jadian beneran ini kayaknya." Tomi berdiri dan menepuk bahu Bagus. "Santai, Gus. Astaga, tatapan lo berasa mau bunuh gue. Muka gue keliatan kayak pebinor emangnya?" Ia geleng-geleng kepala. "Satu lagi cewek di kelas kita udah sold out. Lo aja bisa dapet Anin, Gus. Masa gue belum nemplok ke siapa-siapa, ya?"

Anin tertawa. "Nggak usah sama-samain Bagus sama lo. Enak aja. Beda."

Tomi nyengir tanpa merasa tersinggung. "Gue jarang ngomong sama Bagus, tapi gue mau tanya sekarang. Anin beneran pacar lo, Gus?"

"Iya, lo mau apa?"

Tomi makin terbahak. "Bener lo, Nin. Bagus udah hidup. Lanjutin lah kalo gitu." Ia menunduk dan mengulurkan tangan, seolah mempersilakan sepasang kekasih itu lewat. "Silakan. "

"Alay lo, Tom." Anin berdecak. Tangannya makin digenggam Bagus erat. Tanda kalau mereka memang harus pergi. "Gue duluan!"

"Oke."

Anin berjalan beriringan Bagus menuju parkiran. Anehnya Bagus malah muter jalan jadi lebih jauh. Padahal kan tinggal lurus saja sampai di parkiran. Tapi Anin nurut sajalah.

"Duduk."

Anin mendengus. Mereka ternyata ada di ujung jalan sempit perbatasan dua gedung kuliah. Jalan yang jarang dilewati mahasiswa. Juga jalan yang kerap Anin pergoki Bagus ada di sana, menatapi sebuah lembar foto sambil merokok.

"Kamu tuh bunglon banget. Dasar," gerutu Anin saat Bagus mengambil satu ranting kayu untuk duduk dirinya sendiri, sedangkan Anin di sebuah kursi kayu yang tidak terpakai.

Bagus sedikit mendongak karena posisi duduknya lebih rendah di depan Anin. "Bunglon?"

Anin mengangguk. "Berubah kalo ngerasa terancam. Depan Tomi aja sok-sokan gandeng tanganku. Dua bulan ini di kampus emang pernah? Nggak."

Bagus masih diam.

"Kayaknya aku emang harus ketemu sama temen-temen cowok biar diromantisin sama kamu," gerutu Anin.

Mereka masih diam setelah itu. Anin mengamati Bagus yang tetap bertahan melihatinya. Lelaki itu duduk di sebuah ranting yang cukup kuat menampung tubuhnya, dengan kedua tangan saling bertaut di atas lutut. Apalagi Bagus mendongak begitu, astaga Anin salah fokus ke jakunnya Bagus. Kok bisa ganteng banget ya?

GlowApp (Aplikasi Cari Jodoh)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt