32. Dasar Louhan

32K 6K 756
                                    

"Papa sama Mama mau car free day di dekat kantor. Anin ikut?"

Pertanyaan papanya tidak menghentikan Anin yang sedang menata makanan di meja.

"Nanti Papa belikan sepeda buat Anin."

Mendengar itu membuat Anin tersenyum kecil.

"Anin capek mungkin, Pa." Kali ini giliran mamanya yang berbicara. "Biar istirahat. Udah mulai kuliah. Nggak ada liburnya kan semester kemarin."

"Benar nggak mau ikut?" Dandi meyakinkan.

Anin menjawab pelan. "Nggak dulu ya, Pa."

Mereka sudah berkumpul semua di ruang makan. Minggu pagi memang selalu dihabiskan untuk sarapan bersama karena hari-hari biasa mereka akan sibuk masing-masing.

"Atau Anin mau Papa temenin main?" Dandi masih terlihat antusias.

Sari terkekeh mendengarnya. "Mau main apa, Pa? Pulang-pulang encok nanti."

"Papa masih bisa main pukul-pukul kepala buaya di timezone loh, Ma," pamer Dandi.

Biasanya Gagah menanggapi, lalu Anin menyela karena pendapatnya tak pernah searah dengan Gagah. Dan berakhir keduanya adu mulut. Tapi sekarang tidak. Anin juga hanya mendengus geli mendengar ucapan papanya.

"Ck. Anak Papa diem-diem bae. Mama udah diem. Jagoan Papa diem. Putrinya papa juga diem. Nggak ada yang nemenin Papa ini?"

Anin tersenyum. Ia mengangkat satu potong daging. "Papa mau nambah lauk?"

Dandi mengangguk antusias walau makanan di piringnya bahkan belum disentuh.

Lalu diam setelah itu. Semua tahu Anin habis menangis semalaman. Ini bahkan sudah berlalu beberapa hari tapi terkadang masih saja mendapati kedua mata Anin bengkak di pagi begini. Hari ini misalnya.

"Kenapa mata lo bengkak?"

Suara itu terdengar dari arah kanan Anin. Ia sadar Gagah menjadi pendiam beberapa hari ini. "Apa, Bang?"

"Gue tanya kenapa mata lo bengkak." Gagah tidak mengatakannya untuk mengejek. Justru sarat dengan kemarahan di tiap intonasinya. "Emang berengsek itu anak."

"Gagah! Siapa ngajarin bicara begitu di meja makan?!" Suara Dandi ikut meninggi.

Napas Gagah terdengar lebih keras. Bantingan alat makan yang saling membentur menimbulkan suara yang cukup nyaring. Ia mendengus keras, seolah meredam kuat-kuat marahnya.

"Makan dulu biar nggak marah-marah." Suara lembut Sari terdengar membuat Gagah akhirnya menuruti.

Mereka makan dalam diam. Benar-benar diam karena jika bicara justru akan semakin memperumit keadaan. Anin sedang tidak seperti biasanya. Bagi mereka, satu sakit maka sakit semuanya. Hanya saja orang tuanya menunjukkan dengan cara peduli, Gagah dengan emosinya yang tidak bisa ditutupi.

Mereka tahu salah satu anggota keluarganya sedang hancur. Itu artinya kesemua yang di dalamnya juga remuk. Anin memang tidak bercerita, tapi rasa sakitnya sampai pada tiap-tiap hati yang ada di sana. Karena mereka satu, maka denyut nyeri Anin sama saja menyakiti keluarganya.

"Papa sama Mama berangkat dulu." Dandi berdiri dan memeluk Anin, menciumi kepala Anin persis seperti saat anak itu masih kecil.

"Hati-hati, Pa, Ma."

Anin melepas kepergian orang tuanya di pintu utama sebelum membalikkan badan. Ia dapati Gagah terdiam di ruang tengah. Seperti biasa menatap akuarium tapi kali ini tidak sambil bersiul apa lagi bergumam sendiri.

GlowApp (Aplikasi Cari Jodoh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang