12. Feeling Guilty

41.7K 8.3K 995
                                    

Saya lagi saya lagi🙃

✨✨

"Kenapa tiba-tiba minta jemput? Acaranya belum selesai kayaknya."

Anin memasang sabuk pengaman lalu duduk menyamankan diri. Ia lepas tas dan setengah melempar ke dashboard. "Capek."

"Oh, capek." Gagah menyalakan mobil. "Gue kira yang ulang tahun ngompol makanya dibubarin."

"Bang."

"Atau tamunya cepirit baunya semerbak dan merusak keseimbangan ekosistem?"

Mau tidak mau Anin mendengus geli. Ia memukul lengan Gagah lumayan keras, sekalian melampiaskan rasa kesalnya. "Mulut lo ada-ada aja loh, Bang. Dapet perbendaharaan kata dari mana sih?"

"Nggak tau. Mungkin dari Pak Dandi Prabowo."

Anin terkekeh. Ia akui Gagah walau aneh begitu tapi memang pintar banget. Kuliahnya tidak sampai empat tahun, cum laude, belum lagi jabatan kerjanya sudah tinggi padahal fresh graduate. Sayangnya ya itu, punya orientasi seksual yang berbeda. Bukan homoseksual, malah ke ikan. Repot.

"Kenapa nggak Bagus yang nganter?"

Pertanyaan itu langsung membuat Anin bersandar lelah. Males membahas anak itu. "Sibuk."

"Oh, sibuk." Gagah mengangguk-angguk. "Saking sibuknya sampe antar lo ke gerbang dan nggak pergi-pegi?"

Anin segera menoleh ke spion. Memang terlihat Bagus masih berdiri di gerbang. "Jalan, Bang. Lama amat lo, nungguin apa?"

Gagah nurut dan mulai menjalankan mobil. Kecepatannya tidak terlalu lamban. "Muka lo merah gitu, abis marah?"

Anin memejamkan mata. Biar dikira tidur. Walau begitu ia menjawab asal. "Emang dari sononya muka gue kayak gini."

"Keliatan tau, Nin. Muka lo yang putihnya sampe nggak keliatan aliran darahnya itu bakal jadi merah mendadak kalo lo emosi."

"Karena kena panas," jawab Anin.

"Matahari kurang kerjaan kalo nongol malem-malem gini. Lagi istirahat dia, main catur sama planet."

"Ngaco."

"Ya begitulah hidup." Gagah seolah sangat mengerti perasaan adiknya. "Kadang di bawah, kadang lebih di bawah lagi. Tentang cinta juga, kadang ada manisnya ada pahitnya. Banyakan pahit kalo kisah lo sih."

Anin masih diam.

"Tapi nggak apa-apa, Nin. Kalem. Lo belum sampai pacaran sama dia, jadi wajar kalo berhenti di tengah jalan. Kecuali udah pacaran, otomatis lo udah baper dan cinta banget kan ya, baru tuh boleh kalo lo mau gebukin dia."

"Iya," kata Anin pelan. Sepertinya ia ketularan Bagus yang hanya bisa ngomong ya tidak angguk geleng. Bikin capek.

Obrolan tidak berlanjut lagi karena Anin memang benar-benar ngantuk. Kadang emosi membuatnya menggebu di menit-menit awal, lalu capek dan akhirnya tidur. Anin memang terbiasa seperti itu.

Sampai depan rumah, Anin menguap setelah dibangunkan Gagah. Ia turun lebih dulu dan membuka pintu. Masih ada orang tuanya di ruang tengah tapi seperti biasa, ia menyapa dan langsung naik ke kamarnya sendiri.

Belum melepas apa pun dari tubuhnya, ia melemparkan diri ke atas tempat tidur. Matanya nyalang ke atap, memikirkan apa yang terjadi kira-kira satu jam yang lalu.

"Gue keterlaluan nggak sih marah-marah kayak gitu?" gumamnya pada diri sendiri. Mengingat ekspresi Bagus, juga anggota keluarga saat ia pamit pulang. Apalagi Qia. Ya Tuhan, emosi bikin Anin tidak memikirkan perasaan anak kecil itu. Jelas tadi tatapannya kecewa, tapi Anin malah tidak memedulikan.

GlowApp (Aplikasi Cari Jodoh)Where stories live. Discover now